Penerapan Clinical Pathway pada Sistem Pelayanan Kesehatan


Oleh :
M. Rekar Sudirman

Tuntutan akan pelaksanaan pelayanan kesehatan yang konsisten, bermutu tinggi dengan cara paling efektif, biaya terjangkau, serta akuntabel semakin menguat. Bagi rumah sakit negeri, pengendalian biaya pelayanan kesehatan seringkali menjadi persoalan yang cukup memberatkan di tengah ketatnya persaingan dengan berbagai rumah sakit maupun klinik swasta. Dalam jangka panjang persoalan ini dikhawatirkan akan menjadi beban berat bagi anggaran belanja rumah sakit negeri. Tak jarang pihak manajemen rumah sakit mengeluhkan total biaya penanganan diagnosis tertentu sering berbeda-beda pada setiap dokter, bahkan sering lebih besar dari ketetapan Askes sehingga berpotensi merugikan rumah sakit negeri saat mengajukan klaim biaya ke pihak jaminan pelayanan kesehatan yang di danai oleh pemerintah.
Clinical Pathways (CP) sebagai kunci utama untuk masuk ke dalam system pembiayaan yang dinamakan DRG-Casemix. Merupakan suatu konsep perencanaan pelayanan terpadu yang merangkum setiap langkah yang diberikan kepada pasien berdasarkan standar pelayanan medis dan asuhan keperawatan yang berbasis bukti dengan hasil yang terukur dan dalam jangka waktu tertentu selama di rumah sakit. Clinical Pathways merupakan salah satu komponen dari Sistem DRG-Casemix yang terdiri dari kodefikasi penyakit dan prosedur tindakan (ICD 10 dan ICD 9-CM) dan perhitungan biaya (baik secara top down costing atau activity based costing maupun kombinasi keduanya).
Clinical pathway adalah dokumen perencanaan pelayanan kesehatan terpadu yang  merangkum setiap langkah yang dilakukan pada pasien mulai masuk rumah sakit sampai keluar rumah sakit berdasar standar pelayanan medis, standar asuhan keperawatan, dan standar pelayanan kesehatan lainnya yang berbasis bukti yang dapat diukur.
Clinical pathway merupakan proses kolaborasi dari beberapa multidisiplin yaitu dokter, perawat dan petugas kesehatan lainnya. Dengan demikian diharapkan penerapan clinical patway dapat meminimalkan waktu tunggu pelayanan pasien dengan TIA di UGD. Penerapan clinical pathway adalah menjamin tidak ada aspek-aspek penting dari pelayanan yang dilupakan. Clinical pathway memastikan semua intervensi dilakukan secara tepat waktu dengan mendorong staf klinik untuk bersikap pro-aktif dalam perencanaan pelayanan.
Implementasi CP sangat erat berhubungan dan berkaitan dengan Clinical Governance dalam rangka menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan dengan biaya yang dapat diestimasikan dan terjangkau. Dalam menyusun Format Clinical Pathways harus diperhatikan komponen yang harus dicakup sebagaimana definisi dari Clinical Pathways. Manfaatkan data yang telah ada di lapangan rumah sakit dan kondisi setempat seperti data Laporan RL1 sampai dengan RL6 dan sensus harian.
Clinical pathways (CP), sebagaimana diketahui merupakan bagian penting dokumen dan tools dalam mewujudkan Good Clinical Governance di rumah sakit. Di Indonesia, dokumen ini juga menjadi salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam Standar Akreditasi RS versi KARS 2012. Walaupun masih diperdebatkan, sebagaimana dimuat dalam The Cochrane Library 2010 (issue 7), CP berperan dalam meningkatkan kendali mutu dan kendali biaya di RS, seperti pemendekan Length of Stay, penurunan risiko terjadinya readmisi, komplikasi serta kematian pasien, dan hospital cost secara keseluruhan.
Departemen kesehatan (2010) menerapkan bahwa rumah sakit diharapkan mengimplementasikan clinical pathway sebagai perencanaan pelayanan kesehatan terpadu dengan merangkum setiap langkah yang dilakukan pada pasien mulai dari masuk sampai keluar rumah sakit. Tujuan clinical pathway antara lain mengurangi variasi dalam pelayanan, cost lebih mudah diprediksi, pelayanan lebih terstandarisasi, meningkatkan kualitas pelayanan guality of care, meningkatkan prosedur costing, meningkatkan kualitas dari informasi yang telah dikumpulkan dan sebagai counter-check terutama pada kasus-kasus highcost, high volume. Clinical pathway diharapkan dapat mengurangi biaya dengan menurunkan length of stay, dan tetap memelihara mutu pelayanan.
Pertanyaan besar dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan di rumah sakit-rumah sakit di Indonesia adalah bagaimana agar CP dapat berperan secara optimal dalam kendali mutu dan kendali biaya di RS serta bukan hanya sekedar dokumen kertas yang menjadi prasyarat akreditasi. Kesuksesan penerapan CP di berbagai negara maju sekalipun masih menjadi PR besar yang perlu terus diteliti, termasuk di Inggris yang membidani lahirnya CP.
Muller et al (2008), penerapan Clinical Pathways merupakan sebuah pendekatan yang dapat digunakan dalam rasionalisasi biaya tanpa mengurangi mutu. Metode ini merupakan model manajemen pelayanan kesehatan yang telah banyak diterapkan rumah sakit di berbagai belahan dunia. INA- CBG’s sendiri merupakan sistem pembayaran kepada Pemberi Pelayanan Kesehatan yang dikelompokkan berdasarkan ciri klinis yang samadan pemakaian sumber daya (biaya perawatan yang sama). Berbeda dengan system pembayaran berdasarkan jumlah layanan (free for service) atau system pembayaran paket yang dikelompokan berdasarkan layanan sejenis. Pola pelayanan atau sistem paket yang dikelompokan berdasarkan layanan sejenis. Pola pembayaran dengan sistem ini adalah prospective payment dimana biaya sudah ditentukan sebelum layanan diberikan.
Berbeda dengan pola pembayaran BPJS (Persero) saat ini, yang pembayaran dilakukan berdasarkan jenis pelayanan atau paket pelayanan. Pada pola INACBG’s, dikenal tarif per –episode kasus yang ditentukan oleh kode INA- CBG’s. Pembayaran per –kode INA- CBG’s meliputi biaya dari mulai pasien masuk Rumah Sakit sampai pasien pulang atau sembuh sesuai dengan clinical pathway yang telah ditentukan. Satu tarif dibayarkan sekaligus untuk seluruh komponen pelayanan yang meliputi pemeriksaan dokter, penunjang diagnostic (laboratorium, radiodiagnostik, elektromedik), obat-obatan, serta akomodasi kelas rawat untuk pasien rawat inap.
Dalam VFM Unit (NHS Wales) Project yang meneliti tentang Clinical Resource Utilitation Group pada bulan September 1995 hingga Maret 1997 di Inggris dengan melibatkan 700 orang staf klinis, manajerial, dan operasional memberikan rekomendasi terkait faktor kunci penentu kesuksesan implementasi CP.
Faktor pertama dan utama yang harus diperhatikan adalah bahwa CP membutuhkan kesadaran dan komitmen dari seluruh pihak yang terkait. CP merupakan alat yang bersifat leader driven, sehingga yang paling mendasar adalah bagaimana pimpinan RS terlebih dahulu memiliki kesadaran dan komitmen tersebut sehingga dapat menyusun kebijakan strategis yang mendukung CP agar dapat berperan sebagai alat dalam manajemen perubahan, sebagai komponen integral dalam penyelenggaraan bisnis dan penjaminan mutu pelayanan RS, serta pilar tegaknyagood clinical governance. Menurut Midleton dan Roberts (2000).Kesadaran, komitmen, dan peran manajer/ staf senior juga sangat penting dalam kesuksesan implementasi CP.
Penerapan pelaksanaan CP pada beberapa Negara maju di dunia menunjukkan keberhasilan dalam pencapaian pelaksanaan pelayanan kesehatan. Pada tahun 2010 lisensi software INA DRGs telah habis dan beralih grouper ke INA CBGs dengan menggunakan grouper dari United Nation University (UNU-Casemix Grouper). Dasar pengelompokan menggunakan ICD-10 untuk diagnosa dan ICD-9 CM untuk prosedur/ tindakan. Penerapan cara pembayaran paket berbasis paket casemix dengan sistem Indonesia Cased Based Group (INA CBGs) menuntut pemberi pelayanan kesehatan untuk menggunakan sumber daya termasuk obat secara efisien dan rasional (efektif).
Paket INA CBGs di sini sudah termasuk dalam pemberian obat, baik rawat jalan maupun rawat inap. Oleh karena cara pembayaran klaim kepada rumah sakit berdasar paket INA CBGs, maka rumah sakit sebagai pelayan pasien Jamkesmas perlu mengadakan efisiensi di dalam pengelolaan pelayanan tersebut. Untuk mencapai kepuasan pasien yang baik dan efisiensi dalam hal biaya maka diperlukan adanya prosedur tetap yang telah dibuat oleh rumah sakit dalam bentuk clinical pathway.
Beberapa jenis penyakit berat dan akan berlangsung lama (kronis) dengan penerapan clinical pathway maka akan membantu keluarannya. Perbaikan proses pelayanan yang multidisiplin merupakan salah satu faktor penentu prognosis yang dapat dimodifikasi. Clinical pathway oleh Middleton dan Roberta (1998) dianggap sebagai pendekatan multidisiplin yang berbasis waktu yang digunakan untuk membantu pasien-pasien tertentu mencapai luaran positif yang diharapkan.
Langkah-langkah dalam pathway seharusnya berlaku bagi sebagian besar pasien untuk suatu luaran yang  diharapkan. Kondisi klinis pasien tentulah tidak sama, dan perubahan kondisi klinis pastilah seringkali terjadi, sehingga diperlukan fleksibilitas suatu pathway. Clinical pathway merupakan perangkat koordinasi dan komunikasi bagi para petugas yang terlibat dalam tatalaksana pasien yang sama (Pearson dan Fisher, 1995).
Clinical pathway merupakan perangkat bantu untuk penerapan standar pelayanan medik (evidence based clinical practice guideline). Sampai saat ini penerapan standar pelayanan medis masih belum sepenuhnya dapat dicapai. Standar pelayanan medis tidak tersedia di bangsal pelayanan atau poliklinik, dan pada umumnya merupakan dokumen yang tersimpan rapi di kantor sekretariat RS. Kesenjangan dalam penerapan SPM ini dapat diatasi dengan mengintegrasikan clinical pathway dalam rekam medis pelayanan pasien sehari-hari (Taylor et al, 2006).
Variasi dalam pemberian pelayanan kesehatan diluar yang telah ditetapkan dalam CP diangga sebagai salah satu bentuk fleksibilitas CP dalam pelayanan kesehatan. Namun adanya variasi juga dapat mempengaruhi outcome pada pasien. Dalam penelitiannya tersebut Panella (2013) menyebutkan bahwa ada 3 faktor utama penentu variasi dalam sebuah pelayanan kesehatan, yaitu perbedaan jenis pelayanan, perbedaan dalam menyajikan pelayanan kesehatan yang berbasis bukti, dan perbedaan profesionalisme tenaga medis. Diantara ketiga faktor tersebut, yang paling berperan besar adalah faktor profesionalisme tenaga medis dan faktor pemberian pelayanan yang berdasarkan bukti medis.
Hingga kini masih terdapat variasi yang luas dalam tindakan terapi dan model organisasi untuk berbagai jenis penyakit yang memiliki CP. Berdasarkan filosofi Continuous Quality Improvement (CQI) perbaikan kualitas yang berkesinambungan harus terus diupayakan dalam rangka mencapai pelayanan, yang berbasis pada kepuasan pelanggan. Untuk mencapai komitmen tersebut pembaharuan dalam sistem manajemen klinis harus terus dilakukan. Cara paling efektif untuk meningkatkan kualitas pelayanan adalah dengan mengurangi variasi proses. Sistem manajemen kualitas yang baik dapat membantu mengontrol variasi untuk memperoleh proses pelayanan yang berkualitas (Kunkelet al. 2007).
Sebuah penelitian oleh Govan et al (2008) memberikan hasil bahwa proses pelayanan kesehatan yang lebih terorganisir mendorong hasil outcome yang lebih baik. Salah satu terobosan yang digunakan dalam manajemen klinis untuk memperkecil adanya variasi proses adalah dengan pemberlakuan clinical pathway (Pinzon et al. 2009).
Pada Cheah (2010) Clinical pathway terdiri dari 5 tahap yaitu: pendaftaran, penegakkan diagnosa, terapi, pulang dan rawat jalan. Tahap terapi terdiri dari visite dokter, pemeriksaan penunjang, konsultasi dokter, Asuhan keperawatan, tindakan, rehabilitasi medik, intake makanan rendah garam dan intake obat-obatan (
Clinical pathway telah terbukti mengurangi variasi yang tidak perlu dalam proses pelayanan. Melalui perencanaan perwatan pasien yang jelas clinical pathway mendorong proses pelayanan yang lebih efisien dan mendorong efektivitas terhadap biaya pelayanan (Cheah, 2010). Sesuai dengan tujuan pathway yaitu memberikan pelayanan terpadu yang merangkum setiap proses dan langkah terbaik berdasarkan standar pelayanan dan perawatan yang berbasis bukti.
Sangat sedikit dijumpai kasus keberagaman penyelenggaraan pelayanan pasien dengan perbedaan perilaku dokter memberikan resep obat, pemeriksaan penunjang medik yang menyebabkan jumlah pembayaran untuk setiap kasus cenderung tinggi. Selain itu juga lamanya rawat inap dirumah sakit (LOS), lambatnya proses administrasi, dan lambatnya penanganan terhadap pasien merupakan persoalan yang sering dikeluhkan pasien (Panella et al. 2012 ; T Rotter et al. 2010 ; Donnan et al. 2008 ; Taylor et al. 2006). Angka mortalitas adalah outcome yang dianggap paling signifikan untuk merepresentasikan sebauah kualitas pelayanan.
Hingga saat ini diketahui bahwa penerapan CP hanya dikhususkan pada penyakit kronis berjangka panjang yang dapat mengakibatkan beban yang besar pada pasien (High cost dan High Volume). Tidak semua rumah sakit telah menerapkan CP, dan tidak semua jenis peyakit kronis, ataupun penyakit dengan perawatan jangka waktu panjang memiliki CP. Hal ini disebabkan berbagai macam hal termasuk mempertimbangkan sumber daya yang ada pada sebuah ruma sakit.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Audit, Sertifikasi, dan Akreditas apa Bedanya?

Mengenal Tentang MUN "Model United Nations"

MENTAL BLOCK