SERIBU BINTANG JATUH (Cerpen)
By :
M. Rekar Sudirman
Ku coba regangkan
badanku yang sedari tadi bekerja. Jam di sudut meja kerjaku menunjukkan pukul 9
lewat 15 menit. Ini sudah lewat dari waktu kerjaku. Saat merapikan berkas
diatas mejaku, aku baru tersadar telepon genggamku, yang dari tadi
kunonaktifkan deringnya terlihat ada 12 panggilan tak terjawab dari ibu. Saat
hendak mengambil telepin genggamku HP ku bergetar lagi, dan itu dari ibu,
kuputuskan untuk mengabaikannya, dan akan meneleponnya kembali setelah aku
membereskan meja.
Setelah turun dari Bus
BRT yang aku tumpangi, aku tersadar ibu kembali menelepon, dan ini panggilannya
ke yang 16 kali saat terakhir kali menelepon. Sekarang sudah pukul 10 malam,
dengan sedikit lelah kuterima telepon dari Ibu. Dengan nada lemah aku ucapkan
salam, ibupun membalas salamku dengan lembut. Aku tahu kebiasaan ibu saat
menelepon dengan rutinitas yang sama, ibu menelepon dua hari sekali, itupun
setelah aku peringatkan, jika tidak maka mungkin beliau akan menelepon setiap
hari. Ibu akan selalu menanyakan hal yang sama sedang dimana? Sudah makan?
Makan apa? Bagaimana pekerjaanmu? Lalu akan membahas saudara ku yang lain. Saya
sangat hapal semua pertanyaan itu hingga durasi telepon aku dan Ibu tidak lebih
dari 10 menit. Namun hari ini telepon ibu terasa lebih singkat, saat kulihat
telepon genggamku durasinya Cuma 7 menit lebih, ibu tidak menanyakan hal yang
biasa namun hanya menanyakan kamu baik-baik disana? Dengan jawaban sedikit
ketus pun kujawab iya, dengan sedikit alasan saya sangat lelah hari ini dengan
tambahan keluhan-keluhan lazim orang lembur. Yang aneh lainnya adalah hari ini
ibu yang memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan, biasanya aku yang
menghentikan pembicaraan dengan ibu saat sudah tidak adalagi yang dibicarakan
dengan alasan mau istirahat atau mau mempersiapkan sesuatu. Ibu menetup telepon
dengan nada lembut dan sedikit senduh dan ragu di ujung kata salamnya.
Selesai ibu menelepon,
ku kembali melanjutkan perjalanan ku dari halte Bus BRT ke rumah kontrakkan ku
yang berjarak 15 menit ditempuh dengan jalan kaki. Sembari berjalan kupandangi
langit malam hari yang tampak begitu cerah malam ini, tanpa awan menutupinya
sehingga bintang-bintang tampak begitu terekspos oleh mataku. Saat menikmati
malam bertabur bintang tiba-tiba aku bernostalgia dengan cerita ibu tentang
mitos bahwa jika melihat ada bintang yang jatuh, maka ucaplah sebuah permohonan
maka akan terkabul, kata ibu kala itu. Sangat teringat jelas waktu itu setiap
melihat bintang aku selalu berharap akan ada bintang jatuh agar aku dapat
memohon sebuah mainan yang banyak pada bintang tersebut. Semenjak itu aku
sering berbohong pada ibu tentang melihat bintang jatuh, dan saat aku berbohong
pada ibu tentang melihat bintang jatuh,
dan merengek kenapa bintang jatuh tidak mengabulkan permintaan ku, lalu
kemudian ibu akan datang padaku dengan memberikan sebuah permen coklat dan
berkata untuk mendapatkan sesuatu seseorang harus bersabar. Kala itu mungkin
ibu ingin mengajariku untuk tidak patah semangat tentang apa yang aku inginkan,
dan untuk tetap berusaha keras. Tiba-tiba air mataku menetes mengingat ibu yang
tadi menelepon, aku yang berperilaku buruk, dan ibu yang tida pernah menyerah
padaku yang suka berbohong. Aku tersadar bahwa perilakuku sangat buruk kepada
ibu, tadi bahkan hari-hari yang lalu. Aku tersadar mungkin ibu rindu padaku
yang hampir dua tahun tidak mudik ke tempatnya, mungkin ibu tahu aku juga
rindu, namun rinduku tidak pernah kuucapkan. Kuputuskan akan meneleponnya saat
tiba di rumah.
Sesampainya di rumah
aku langsung mencharger telepon genggamku yang telah kritis daya baterai,
sambil memutuskan untuk mandi dan
berbenah terlebih dahulu sebelum menelepon ibu kembali. Setelah selesai
berbenah aku melihat telepon genggamku menunjukkan 10% dayanya, kuputuskan
menunggu hingga benar-benar aman hingga dapat kugunakan untuk menelepon ibu
kembali.
Aku terbangun pukul 5
dini hari karena ketukan pintu dari saudara sepupuku, yang juga tinggal menetap
dikota ini untuk bekerja. Tak biasanya dia datang sepagi ini, ada perasaan aneh
yang kurasakkan, dadakku sesak. Aku bergegas menuju arah pintu sambil
menggenggam telepon genggam, mengingat akan menelepon ibu, karena pasti mereka
semua pasti disana telah bangun juga untuk bersiap sholat subuh. Saat kubukakan
pintu wajah Dino sepupu ku tampak aneh, air wajahnya tampak khawatir, dadaku
semakin sakit aku merasa ada sesuatu yang aneh, dengan melihat wajahnya yang
tampak sedihpun airmataku menetes. Dino memelukku, memelukku yang mematung di
depan pintu, seolah-olah aku tahu sesuatu, sesuatu yang membuatku sesak tanpa
harus dijelaskan oleh Dino. Yang kuingat dino hanya berkata “ Ini tentang Ibu”
Perjalanan kembali ke
kota asalku membutuhkan dua jam perjalanan menggunakan pesawat terbang.
Sesampainya disana aku merasa takut, takut untuk masuk ke dalam rumah yang
tampak ramai namun susananya sendu. Cuaca hari ini memang terasa panas dan
terik, namun aku tahu di dalam rumah pasti terasa sangat mendung.
Aku menatap nanar saat
mengenali wajah-wajah yang kukenali duduk melingkari Sesuatu yang telah diselimuti
kain sarung dan kain perca putih. Tangis mereka pecah saat melihatku yang
menatap dengan nanar. Mereka terlihat sangat dekat, namun aku merasa kenyataan
ini terasa sangat jauh, jauh hingga aku merasa ingin kabur dan tak ingin
kembali ke tempat ini. Seketika teringat kembali ajakan dan pertanyaan ibu
untuk sesekali pulang dan berkunjung, dan pasti ibu tahu jawabannya memang
bukan selalu tentang sibuk bekerja, atau sulit untuk mengambil cuti, tapi
alasan terberat dari pulang adalah ketika pulang utuk kembali dan berpisah
adalah hal tersulit. Aku sedih ketika harus pergi dan meningalkan rumah dengan
semua kenangan indahku, karena disetiap spulang selalu ada bapak, saudara,
kenangan, ada rumah, ada nyaman, dan ad ibu disetiap pulangku.
Kakiku gemetar, akupun
terjatuh bersama airmataku yang selama ini kutahan, kutahan dua tahun untuk
tidak pulang, melihat ibu yang kini lemah tak bernyawa didepanku, yang tak
sempat salami, yang tak sempat kupeluk, yang tak sempat kuucapkan kata pisah,
yang tak akan meneleponku lagi, tak menanyakan kabar, sudah makan,sedang dimana
lagi, ibu kini telah pergi, sendiri, dan tanpa memberitahuku. Wajah ibu tampak
terlihat lebih tua kali ini dihiasi dengan berbagai gurat di wajahnya. Tak ada
senyum, hanya diam yang tampak.
Aku diberitahu ibu
meninggal karena sakit jantung yang ia miliki. Kami semua tahu, penyakit yang
dimiliki ibu. Penyakit tersebut sudah dialami ibu dua tahun terakhir ini.
Anak-anak ibu sudah dewasa dan kami mengerti akan kondisi yang dialami ibu.
Tapi kami tak pernah menyangka ibu akan secepat ini meninggalkan kami. Setelah
acara pemakaman ibu dan ta’siyah yang dialksanakan di malam hari, ayah
memanggil kami satu persatu kedalam kamar ibu. Aku masih takut masuk ke kamar
ibu, aku memutuskan menjadi yang terakhir untuk masuk kesana. Aku sedih setelah
masuk kekamar itu saudaraku keluar dengan mata yang semakin sembab karena
menangis, namun terlihat sedikit lega diwajah mereka.
Saat tiba giliranku
suara ayah yang semakin parau memangilku masuk kedalam kamar ibu. Ayah
menyuruhku untuk duduk dikursi samping jendela tempat dimana biasanya ibu
menelepon kami. Tangan ayah yang kini mulai tampak keriput pun memberikan
sepucuk surat, yang kutahu pasti telah dibaca berulang kali, masih terlihat
jelas dalam lembar surat tersebut beberapa tetesan airmata dan kertas surat
tersebut mulai terlihat sedikit lecek. Ayah berkata tentang surat yang ditulis
ibu terakhir kali, yang telah ibu persiapkan sebelumnya. Dengan tatapan sendu
ayah memberikan surat padaku, dan mulai duduk disamping ranjang ibu. Surat itu
berbunyi
“Untukmu
anak-anakku, dimanapunkalian saat ini ibu pastikan kalian sedang dalam keadaan sehat, ibu minta maaf sebelumnya
tidak dapat menemani kalian hingga saat terakhir, ibu minta maaf karena harus
melepas kalian pergi jauh dari ibu, dan membiarkan kalian bertanggung jawab
dengan hidup kalian di usia kalian yang cukup muda, percayalah itu juga berat
buat ibu, namun ibu yakin itu bisa membuat kalian lebih baik. Ibu hanya bisa
mendoakan kalian dari jauh, ibu hanya bisa merindukan kalian dari jauh, maafkan
ibu yang terlalu banyak bertanya karena rasa khawatir ibu pada kalian. Ibu
berharap kalian akan memiliki waktu dan rezeki yang baik hingga kalian dapat
saling menjaga nantinya. Kalian tahu pasti memebsarkan 7 Anak tidaklah muda
bagi orangtua seperti kami, tapi percayalah di dalam setiap doa ibu, ibu tidak
pernah lupa mengabsen nama kalian satu persatu pada ALLAH S.W.T agar selalu
dijaga dan diberi kebahagiaan, ibu berharap agar doa ibu dikabulkan agar setiap
kerja keras, dan waktu yang kalian habiskan memberi kebahagiaan bagi kalian.
Kalian adalah permata ibu tetaplah
hidup dengan baik saat ibu tidak ada nanti. Ibu sudah terlalu tua untuk
mendampingi kalian selamanya maka maafkan lagi ibumu ini. Tetap jaga kesehatan
kalian, tetaplah berusaha demi sesuatu yang baik yang kalian perjuangkan ibu
akan membantu, tidak dengan fisik, ataupun materi namun doa ibu selalu ada
bersama kalian. Ingat rumah kalau kalian lelah, ibu, ayah, saudara, dan rumah
akan selalu ada di dalamya untukmu. Kembali lah sesekali jika tidak ingin
menengok kami maka, datanglah walau hanya untuk beristirahat. yang terakhir
dari ibu kalian harus selalu makan tepat waktu biar tidak mudah sakit, Maafkan
ibu tidak bisa menyiapkannya. Kalian sedang dimana?maafkan ibu tidak bisa
menemani. Apakah pekerjaan mu lancar? Maafkan ibu yang tidak bisa membantu.
Apakah kamu baik-baik saja? Maafkan ibu yang sudah tidak ada dan tak lagi bisa
apa-apa.
Salam Rindu
Ibu
Air mataku tak berhenti
menetes membaca surat ibu, seakan ibu mengerti semua perbuatanku yang
menyakitinya. Yang selalu mengecewakannya. Ibu yang tidak pernah berubah dari
dulu walaupun aku berbohong dan menyakitinya. Dari kamar ibu langit malam,
terlihat sangat bersih malam ini. Aku masih mengingat di kamar ibu ini ibu
menceritakan tentang bintang jatuh dan permohonan. Aku masih berharap cerita
itu kini benar-benar bisa mewujudkan permintaan seseorang. Aku berharap kini
bukan satu bintang jatuh, tapi seribu bintang jatuh agar aku dapat bermohon
agar ibu tetap baik-baik saja. Maafkan aku ibu.
Komentar
Posting Komentar