MOBILISASI PASCA OP. CAESAR (SEKSIO SAESAREA)

MOBILISASI PASCA OP. CAESAR (SEKSIO SAESAREA)

By
M. Rekar sudirman
Pembedahan Seksio saesaria professional yang pertama dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 1827. Sebelum tahun 1800 Seksio saesaria jarang dikerjakan dan biasanya Fatal. Di London dan Edinburgh pada tahun 1877, dari 35 pembedahan Saesaria terdapat 33 kematian ibu. Menjelang tahun 1877 sudah dilaksanakan 71 kali pembedahan caesarea di Amerika Serikat. Angka mortalitasnya 52% yang terutama disebabkan oleh infeksi dan perdarahan (Hakimi, 2010).
Seksio saesarea atau Seksio saesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram (Sarwono, 2009).
Menurut Jones (2005) dalam tahun 30 tahun belakangan, peristiwa operasi caesar meningkat dengan pesat, dan semuanya disebabkan karena adanya faktor risiko persalinan. Namun beberapa kasus Seksio saesaria juga tidak mempunyai alasan yang tepat, hanya karena pasien menginginkan operasi tersebut, atau dokter menginginkan cara yang mudah.  Di Australia dan Inggris, operasi caesar sekitar 10 sampai 15%.  Di Amerika Serikat, sekitar 16% sampai 20%.
Seksio saesaria (SC) terus meningkat di seluruh dunia, khususnya di negara-negara berpenghasilan menengah dan tinggi, serta telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama dan kontroversial (Torloni, et al, 2014). Menurut World Health Organization (WHO) (2014) negara tersebut diantaranya adalah Australia (32%), Brazil (54%), dan Colombia (43%). Angka kejadian SC di Indonesia tahun 2005 sampai dengan 2011 rata-rata sebesar 7 % dari jumlah semua kelahiran, sedangkan pada pada tahun 2011 sampai dengan 2014 rata-rata kejadian SC meningkat menjadi  sebesar 15 - 20% dari total persalinan (WHO, 2014).
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan kelahiran bedah sesar sebesar 9,8%dengan proporsi tertinggi di DKI Jakarta (19,9%) dan terendah di SulawesiTenggara (3,3%). Semakin dikenalnya bedah caesar dan bergesernya pandangan masyarakat akan metode tersebut, juga diikuti meningkatnya angka persalinan dengan Seksio saesaria. Di Indonesia sendiri, secara garis besar jumlah dari persalinan caesar di rumah sakit pemerintah adalah sekitar 20–25% dari total persalinan, sedangkan untuk rumah sakit swasta jumlahnya sangat tinggi, yaitu sekitar 30–80% dari total persalinan (Rosyid, 2012).
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia bersama Pemerintah (Departemen Kesehatan dan Departemen Kesejahteraan Sosial) mengeluarkan Surat Edaran Direktorat Jenderal Pelayanan Medik (Dirjen Yanmedik) Departemen Kesehatan RI yang menyatakan bahwa angka Seksio saesaria untuk rumah sakit pendidikan atau rujukan sebesar 20% dan rumah sakit swasta 15% (Kemenkes 2013).
Semua prosedur pembedahan akan menghasilkan nyeri pasca operatif pada berbagai intensitas yang berbeda. Nyeri yang hebat akan menyebabkan depresi pernapasan dan bahkan menyebabkan atelektasis. Nyeri pasca operatif juga menyebabkan memanjangnya waktu ileus paralitik, retensi urin, dan peningkatan bedrest yang akan menyebabkan resiko trombosis vena (Michael dan Seymour, 1997).
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. Nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan lebih banyak orang dibanding suatu penyakit manapun (Brunner dan Suddarth, 2002).
Meskipun nyeri kadang menjadi keluhan utama bagi pasien, biasanya ini bukan prioritas bagi perawat karena merupakan sesuatu yang tak dapat diraba. Sayangnya, lebih mudah mengabaikan pasien yang mengeluh nyeri dibanding dengan keluhan tentang pakaiannya yang tidak perlu diganti, pasien yang membutuhkan bantuan ambulance, atau pemberian obat. Berbagai masalah keperawatan dapat timbul akibat nyeri yang dirasakan oleh pasien setelah pembedahan. Diantaranya, ansietas, ketakutan, koping yang tidak efektif, hambatan mobilitas fisik, defisit nutrisi dan gangguan konsep diri (Carol dan Priscilla,1997).
Perawat menghabiskan lebih banyak waktunya bersama pasien yang mengalami nyeri dibanding tenaga profesional kesehatan lainnya dan mempunyai kesempatan untuk membantu menghilangkan nyeri dan efeknya yang membahayakan (Brunner dan Suddarth, 2002). Tindakan non farmakologis dalam mengatasi nyeri antara lain: stimulasi dan massase kutaneus, terapi es dan panas, stimulasi saraf elektris transkutan, distraksi, tehnik relaksasi, guide imagery, dan hipnosis (Brunner dan Suddarth, 2002).
Gangguan lain yang bisa dirasakan oleh pasien setelah sectio adalah adanya rasanya cemas. Gangguan rasa cemas disebabkan karena adanya tekanan yang muncul dari luar, misalnya adanya kelahiran dan ketakutan-ketakutan yang dirasakan akibat adanya faktor yang muncul akibat pembedahan SC (Ikbal, 2007).
Mobilisasi pasca seksio saesaria adalah suatu pergerakan, posisi atau adanya kegiatan yang dilakukan ibu setelah beberapa jam melahirkan dengan persalinan caesarea. Untuk mencegah komplikasi pasca operasi Seksio saesaria ibu harus segera dilakukan mobilisasi sesuai dengan tahapannya. Oleh karena setelah mengalami seksio saesaria, seorang ibu disarankan tidak malas untuk bergerak pasca operasi seksio saesaria, ibu harus mobilisasi cepat. Semakin cepat bergerak itu semakin baik, namun mobilisasi harus tetap dilakukan secara hati-hati.
Mobilisasi dini dapat dilakukan pada kondisi pasien yang membaik. Pada pasien pasca operasi seksio saesaria 6 jam pertama dianjurkan untuk segera menggerakkan anggota tubuhnya. Gerak tubuh yang bisa dilakukan adalah menggerakkan lengan, tangan, kaki dan jari-jarinya agar kerja organ pencernaan segera kembali normal. Beberapa penelitian Jakarta diperoleh hasil bahwa ada pengaruh mobilisasi dini terhadap percepatan kesembuhan luka pada pasien pasca op operasi seksio saesaria.
Mobilisasi adalah kemampuan seseorang untuk bergerak secara bebas, mudah, dan teratur yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat. Setiap orang butuh untuk bergerak. Kehilangan kemampuan untuk bergerak menyebabkan ketergantungan dan ini membutuhkan tindakan keperawatan. Mobilisasi diperlukan untuk meningkatkan kemandirian diri, meningkatkan kesehatan, memperlambat proses peyakit khususnya penyakit degeneratif, dan untuk aktualisasi diri (harga diri dan citra tubuh) (Mubaraq dan Chayatin, 2007).
Mobilisasi adalah suatu pergerakan dan posisi yang akan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan (Sumantri, 2010). Sedangkan mobilisasi dini adalah kebijaksanaan untuk selekas mungkin membimbing penderita keluar dari tempat tidurnya dan membimbingnya selekas mungkin berjalan (Soelaiman, dalam Efendi, 2008).
1.    Tujuan Mobilisasi
Tujuan dari mobilisasi antara lain :
a.Memenuhi kebutuhan dasar manusia
b.Mencegah terjadinya trauma
c. Mempertahankan tingkat kesehatan
d.Mempertahankan interaksi sosial dan peran sehari – hari
e.Mencegah hilangnya kemampuan fungsi tubuh
2.    Faktor – faktor yang mempengaruhi Mobilisasi
a.    Gaya hidup
Gaya hidup seseorang sangat tergantung dari tingkat pendidikannya. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan di ikuti oleh perilaku yang dapat meningkatkan kesehatannya. Demikian halnya dengan pengetahuan kesehatan tetang mobilitas seseorang akan senantiasa melakukan mobilisasi dengan cara yang sehat .
b.    Proses penyakit dan injuri
Adanya penyakit tertentu yang di derita seseorang akan mempengaruhi mobilitasnya misalnya; seorang yang patah tulang akan kesulitan untukobilisasi secara bebas. Demikian pula orang yang baru menjalani operasi. Karena adanya nyeri mereka cenderung untuk bergerak lebih lamban. Ada kalanya klien harus istirahat di tempat tidur karena menderita penyakit tertentu misalnya; CVA yang berakibat kelumpuhan, typoid dan penyakit kardiovaskuler.

c.    Kebudayaan
Kebudayaan dapat mempengaruhi pola dan sikap dalam melakukan aktifitas misalnya; seorang anak desa yang biasa jalan kaki setiap hari akan berbeda mobilitasnya dengan anak kota yang biasa pakai mobil dalam segala keperluannya. Wanita kraton akan berbeda mobilitasnya dibandingkan dengan seorang wanita madura dan sebagainya.
d.    Tingkat energi
Setiap orang mobilisasi jelas memerlukan tenaga atau energi, orang yang lagi sakit akan berbeda mobilitasnya di bandingkan dengan orang sehat apalagi dengan seorang pelari.
e.    Usia dan status perkembangan
Seorang anak akan berbeda tingkat kemampuan mobilitasny dibandingkan dengan seorang remaja. Anak yang selalu sakit dalam masa pertumbuhannya akan berbeda pula tingkat kelincahannya dibandingkan dengan anak yang sering sakit.
3.    Manfaat Mobilisasi bagi pasien pasca op SC
a.    Penderita merasa lebih sehat dan kuat dengan early ambulation.
1)   Dengan bergerak, otot –otot perut dan panggul akan kembali normal sehingga otot perutnya menjadi kuat kembali dan dapat mengurangi rasa sakit dengan demikian ibu merasa sehat dan membantu memperoleh kekuatan, mempercepat kesembuhan.
2)   Faal usus dan kandung kencing lebih baik.
3)   Dengan bergerak akan merangsang peristaltic usus kembali normal
4)   Aktifitas ini juga membantu mempercepat organ-organ tubuh bekerja seperti semula.
b.    Mobilisasi dini memungkinkan kita mengajarkan segera untuk ibu merawat anaknya. Perubahan yang terjadi pada ibu pasca operasi akan cepat pulih misalnya kontraksi uterus, dengan demikian ibu akan cepat merasa sehat dan bisa merawat anaknya dengan cepat

c.    Mencegah terjadinya trombosis dan tromboemboli. Dengan mobilisasi sirkulasi darah normal/lancar sehingga resiko terjadinya trombosis dan tromboemboli dapat dihindarkan.
Mobilisasi pasca seksio saesaria adalah suatu pergerakan, posisi atau adanya kegiatan yang dilakukan ibu setelah beberapa jam melahirkan dengan persalinan saesaria. Adapun tujuan mobilisasi pada pasca seksio saesaria adalah untuk membantu jalannya penyembuhan pasien diikuti dengan istirahat (Sumantri, 2010). Untuk lebih lengkapnya akan diuraikan sebagai berikut:

  1. Kebanyakan dari ibu pasca seksio saesaria masih mempunyai kekhawatiran kalau tubuh digerakkan pada posisi tertentu pasca operasi akan mempengaruhi luka operasi yang masih belum sembuh yang baru saja selesai dilakukan operasi. Padahal tidak sepenuhnya masalah ini perlu dikhawatirkan, bahkan justru hampir semua jenis operasi membutuhkan mobilisasi atau pergerakan badan sedini mungkin. Asalkan rasa nyeri dapat ditahan dan keseimbangan tubuh tidak lagi menjadi gangguan, dengan bergerak, masa pemulihan untuk mencapai level kondisi seperti pra pembedahan dapat dipersingkat. Dan tentu ini akan mengurangi waktu rawat di rumah sakit, menekan pembiayaan serta juga dapat mengurangi stress psikis (Kusmawan, 2008).

2.    Adanya mobillisasi menjamin kelancaran peredaran darah, memperbaiki pengaturan metabolisme tubuh serta memperlancar proses eliminasi buang air besar dan buang air kecil.

3.   Menurut Kasdu (Efendi, 2008) dengan mobilisasi dini akan mengurangi kecemasan dalam diri seorang ibu yang telah melalui proses seksio saesaria karena menggerakkan lengan, tangan, menggerakkan ujung jari kaki dan memutar pergelangan kaki, mengangkat tumit, menegangkan otot betis serta menekuk dan menggeser kaki dapat mengalihkan perhatiannya terhadap kecemasan yang dialami.

4.    Kerugian jika tidak melakukan mobilisasi
a.    Peningkatan suhu tubuh. Karena adanya involusi uterus yang tidak baik sehingga sisa darah tidak dapat dikeluarkan dan menyebabkan infeksi dan salah satu dari tanda infeksi adalah peningkatan suhu tubuh.
b.    Perdarahan yang abnormal. Dengan mobilisasi dini kontraksi uterus akan baik sehingga fundus uteri keras, maka resiko perdarahan yang abnormal dapat dihindarkan, karena kontraksi membentuk penyempitan pembuluh darah yang terbuka
c.    Involusi uterus yang tidak baik. Tidak dilakukan mobilisasi secara dini akan menghambat pengeluaran darah dan sisa plasenta sehingga menyebabkan terganggunya kontraksi uterus.
5.    Rentang Gerak dalam Mobilisasi
Menurut Carpenito (2000) dalam mobilisasi terdapat tiga rentang gerak yaitu:
a.  Rentang gerak pasif. Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-otot dan persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif misalnya perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien
b.  Rentang gerak aktif. Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi dengan cara menggunakan otot-ototnya secara aktif misalnya berbaring pasien menggerakkan kakinya.
c.   Rentang gerak fungsional. Berguna untuk memperkuat otot-otot dan sendi dengan melakukan aktifitas yang diperlukan
6.    Latihan Mobilisasi
Mobilisasi pasca pembedahan yaitu proses aktivitas yang dilakukan pasca pembedahan dimulai dari latihan ringan diatas tempat tidur (latihan pernafasan, latihan batuk efektif dan menggerakkan tungkai) sampai dengan pasien bisa turun dari tempat tidur, berjalan ke kamar mandi dan berjalan ke luar kamar (Brunner & Suddarth, 1996).
Mobilisasi dini dilakukan secara bertahap (Kasdu,2003). Tahap- tahap mobilisasi dini pada ibu pasca operasi seksio cesarea :
a.      Jam pertama ibu pasca SC. Istirahat tirah baring, mobilisasi dini yang bisa dilakukan adalah menggerakkan lengan, tangan, menggerakkan ujung jari kaki dan memutar pergelangan kaki, mengangkat tumit, menegangkan otot betis serta menekuk dan menggeser kaki
b.      6-10 jam, ibu diharuskan untuk dapat miring kekiri dan kekanan mencegah trombosis dan trombo emboli
c.      Setelah 24 jam ibu dianjurkan untuk dapat mulai belajar untuk duduk
d.      Setelah ibu dapat duduk, dianjurkan ibu belajar berjalan.
Dengan bergerak, hal ini akan mencegah kekakuan otot dan sendi sehingga juga mengurangi nyeri, menjamin kelancaran peredaran darah, memperbaiki pengaturan metabolisme tubuh, mengembalikan kerja fisiologis organ-organ vital yang pada akhirnya justru akan mempercepat penyembuhan luka. Menggerakkan badan atau melatih kembali otot-otot dan sendi pasca operasi di sisi lain akan memperbugar pikiran dan mengurangi dampak negatif dari beban psikologis yang tentu saja berpengaruh baik juga terhadap pemulihan fisik.
Pengaruh latihan pasca pembedahan terhadap masa pulih ini, juga telah dibuktikan melalui penelitian penelitian ilmiah. Mobilisasi sudah dapat dilakukan sejak 8 jam setelah pembedahan, tentu setelah pasien sadar atau anggota gerak tubuh dapat digerakkan kembali setelah dilakukan pembiusan regional.
Pada saat awal, pergerakan fisik bisa dilakukan di atas tempat tidur dengan menggerakkan tangan dan kaki yang bisa ditekuk atau diluruskan, mengkontraksikan otot-otot dalam keadaan statis maupun dinamis termasuk juga menggerakkan badan lainnya, miring ke kiri atau ke kanan. Pada 12 sampai 24 jam berikutnya atau bahkan lebih awal lagi badan sudah bisa diposisikan duduk, baik bersandar maupun tidak dan fase selanjutnya duduk di atas tempat tidur dengan kaki yang dijatuhkan atau ditempatkan di lantai sambil digerak-gerakan.
Di hari kedua pasca operasi, rata-rata untuk pasien yang dirawat di kamar atau bangsal dan tidak ada hambatan fisik untuk berjalan, semestinya memang sudah bisa berdiri dan berjalan di sekitar kamar atau keluar kamar, misalnya berjalan sendiri ke toilet atau kamar mandi dengan posisi infus yang tetap terjaga.
Bergerak pasca operasi selain dihambat oleh rasa nyeri terutama di sekitar luka operasi, bisa juga oleh beberapa selang yang berhubungan dengan tubuh, seperti; infus, cateter, pipa nasogastrik (NGT=nasogastric tube), drainage tube, kabel monitor dan lain-lain. Perangkat ini pastilah berhubungan dengan jenis operasi yang dijalani. Namun paling tidak dokter bedah akan mengintruksikan susternya untuk membuka atau melepas perangkat itu tahap demi tahap seiring dengan perhitungan masa mobilisasi ini. Untuk operasi di daerah kepala, seperti trepanasi, operasi terhadap tulang wajah, kasus THT, mata dan lain-lain, setelah sadar baik, sudah harus bisa menggerakkan bagian badan lainnya.
7.    Pelaksanaan mobilisasi dini :
a.       Hari ke 1 :
1)  Berbaring miring ke kanan dan ke kiri yang dapat dimulai sejak 6-10 jam setelah penderita/ibu sadar
2)  Latihan pernafasan dapat dilakukan ibu sambil tidur terlentang sedini mungkin setelah sadar.
b.      Hari ke 2 :
1)  Ibu dapat duduk 5 menit dan minta untuk bernafas dalam-dalam lalu menghembuskannya disertai batuk- batuk kecil yang gunanya untuk melonggarkan pernafasan dan sekaligus menumbuhkan kepercayaan pada diri ibu/penderita bahwa ia mulai pulih.
2)  Kemudian posisi tidur terlentang dirubah menjadi setengah duduk
3)  Selanjutnya secara berturut-turut, hari demi hari penderita/ibu yang sudah melahirkan dianjurkan belajar duduk selama sehari
c.       Hari ke 3 sampai 5
1)  belajar berjalan kemudian berjalan sendiri pada hari setelah operasi.
2)  Mobilisasi secara teratur dan bertahap serta diikuti dengan istirahat dapat membantu penyembuhan ibu.

Pemilihan tindakan Op. Secio Caesar saat ini dianggap sebagai sebuah kebutuhan dari para calon ibu, dahuulu Op. secio Caesar hanya ditujukan pada ibu yang mengalami masalah, atau resiko pada saat proses kelahiran, namun kini dianggap sebagai salah satu pilihan keputusan yang dapat dilakukan walaupun tanpa indikasi medis tertentu, berdasarkan kesepakatan Ibu dan Dokter, entah alasan kekhawatiran ibu tentang persalinan ataupun hanya sebagai sebuah tindakan. Masa recovery setelah operasi tidak hanya pada Op. Secio Caesar, namu juga pada tindakan operasi lainnya. Pasca Operasi sebaiknya tanyakan pada dokter atau petugas kesehatan anda tentang tindakan mobilisasi yang anda dapat lakukan guna mempercepat pemulihan pasca operasi. Mobilisasi sebaiknya dilakukan sedini agar para ibu dapat mencapai pemulihan pasca Op. yang optimal. Mobilisasi sebaiknya pada tahap awal harus di damping oleh petugas kesehatan terlatih, agar informasi yang diterima pasien benar dan dapat dipertanggung jawabkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Audit, Sertifikasi, dan Akreditas apa Bedanya?

Mengenal Tentang MUN "Model United Nations"

MENTAL BLOCK