Kematian dan Abortus
ABORTUS DAN FAKTOR RESIKONYA
By : M. Rekar Sudirman
Saat ini abortus masih merupakan masalah
kontroversial baik dari segi kesehatan, moral maupun agama. Namun terlepas dari
kontroversi tersebut, abortus diindikasikan merupakan masalah kesehatan
masyarakat karena memberikan dampak pada kesakitan dan kematian ibu. abortus diidentifikasikan dengan kejadian pengeluaran atau dikeluarkannya hasil konsepsi ibu berusia < 20 minggu. Bagaimana diketahui penyebab utama kematian ibu hamil dan melahirkan adalah
perdarahan (30%), infeksi (12%), eklampsia (25%), abortus (5%), partus lama
(5%), emboli obstetri (3%), komplikasi masa nifas (8%) dan penyebab lainnya
(23%) (Sugiyana, 2000).
Abortus sangat terkait dengan Angka Kematian Ibu. Untuk itu, berbagai upaya yang dilakukan untuk menanggulangi risiko abortus. Strategi yang efektif untuk menurunkan kematian ibu melalui tiga komponen terpadu, yaitu: penanganan darurat abortus dan komplikasinya, konseling dan pelayanan keluarga berencana pasca abortus, dan keterkaitan dengan pelayanan kesehatan reproduksi yang lain. Dari data tahun 1997-2007 didapatkan penyebab kematian di negara berkembang 9% karena abortus, 8% karena sepsis, 18% karena hipertensi, 1% karena emboli, 18% karena penyebab tidak langsung, 35% karena perdarahan dan 11% karena penyebab tidak langsung. Perdarahan juga masih menjadi data yang meragukan dimana penyebab perdarahan itu sendiri tidak dicantumkan karena perdarahan sering dikaitkan dengan abortus. (Kemenkes, 2013).
Kesehatan ibu sangat terkait dengan kesehatan reproduksi. Pada siklus hidupnya wanita mengalami tahap-tahap kehidupan diantaranya dapat hamil dan melahirkan. Beberapa kehamilan berakhir dengan kelahiran tetapi tidak jarang juga yang mengalami abortus. Abortus adalah terhentinya proses kehamilan yang sedang berlangsung sebelum mencapai umur 28 minggu atau berat janin sekitar 500 gram. (Sarwono, 2006).
Penilaian besarnya masalah abortus di berbagai
negara menghadapi banyak kesulitan sebagai akibat status abortus yang ilegal
sehingga kasus-kasus yang terjadi jarang dilaporkan. Namun, tanpa gambaran yang
jelas dan lengkap pun, abortus tetap terdeteksi sebagai masalah kesehatan
masyarakat yang serius. Setiap tahun, ada sekitar 40 sampai 60 juta wanita yang
berupaya mengakhiri kehamilan yang tidak diinginkan. Di seluruh dunia, setiap
tahun terjadi sekitar 40-70 kasus abortus per 1000 wanita usia reproduksi.
Diperkirakan bahwa sekitar 20% dari seluruh kehamilan akan berakhir dengan
abortus. (Yeyeh, 2010).
World
Health Organization (WHO) melaporkan terdapat 210 kematian wanita terhadap
100.000 kelahiran hidup akibat komplikasi kehamilan dan persalinan di tahun
2014. Sedangkan jumlah total kematian wanita di tahun 2014 adalah 289.000
kematian. Jumlah ini menurun sebesar 45% bila dibandingkan tahun 1993 dimana
Maternal Mortality Ratio (MMR) pada tahun tersebut sebesar 380 dan jumlah
kematian wanita sebesar 523.000. Negara berkembang memiliki MMR empat belas
kali lebih tinggi dibanding negara maju. (WHO,2014).
Paritas
adalah jumlah kelahiran yang pernah dialami oleh wanita. Paritas merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya abortus spontan, dimana jumlah
kehamilan ataupun paritas mempengaruhi kerja alat-alat reproduksi. Semakin
tinggi paritas maka akan semakin beresiko kehamilan dan persalinan, karena pada
wanita yang sering hamil ataupun melahirkan akan mengalami kekendoran pada
dinding rahim. (Wiknjosastro dan Hanifa 2006).
Seorang Ibu yang sering melahirkan mempunyai resiko kesehatannya
dan juga bagi kesehatan anaknya. Hal ini beresiko karena pada ibu dapat timbul
kerusakan-kerusakan pada pembuluh darah dinding uterus yang mempengaruhi
sirkulasi nutrisi ke janin (Manuaba IBG, 2010).
Penelitian tersebut tidak sesuai dengan pendapat
Mahdiyah D, dkk, 2015 di Banjarmasin pada 122 ibu hamil, diperoleh
hasil bahwa kategori ibu paritas aman (45,9%), paritas tidak aman (54,1%), dari
analisis kejadian abortus spontan (97,5%), abortus provokatus (2,5%).
Ibu
hamil yang pernah mengalami riwayat abortus sebelumnya juga perlu mewaspadai
kemungkinan kembali terjadinya abortus. Data dari beberapa studi menunjukan
bahwa setelah seseorang mengalami 1 kali abortus, maka ia memiliki 15% risiko
lebih tinggi untuk mengalami abortus lagi. Apabila pernah mengalami abortus 2
kali secara beruntun, maka risikonya meningkat hingga 25%. Risiko abortus setelah 3 kali abortus berurutan adalah 30 -
45%. (Sarwono, 2014).
Penderita dengan riwayat
abortus satu kali dan dua kali menunjukkan adanya pertumbuhan janin yang
terhambat pada kehamilan berikutnya melahirkan bayi prematur. Sedangkan dengan
riwayat abortus 3 kali atau lebih, ternyata terjadi pertumbuhan janin yang
terhambat, prematuritas. (Sarwono, 2014).
Penelitian
yang dilakukan Pangemanan (2013) menyatakan bahwa kelompok responden yang
mengalami abortus inkomplit, sebanyak 25 orang (19,2%) memiliki riwayat pernah
abortus, lebih kecil dibandingkan dengan jumlah kelompok responden yang tidak
memiliki riwayat abortus sebelumnya yaitu 78 orang (60,0%).
Dampak
anemia defensiensi besi pada kehamilan dapat menyebabkan rendahnya kemampuan
jasmani karena sel-sel tubuh tidak cukup mendapat pasokan oksigen. Pada wanita
hamil, anemia meningkatkan frekuensi komplikasi pada kehamilan dan persalinan.
Dampak anemia dalam kehamilan bervariasi dari keluhan yang sangat ringan hingga
terjadinya gangguan kelangsungan kehamilan (abortus, partus imaturus,
premature), gangguan proses persalinan (inertia, atonia,
partus lama, perdarahan), gangguan pada saat masa nifas (sub involusio uteri,
daya tahan terhadap infeksi) dan gangguan pada janin (abortus, dismaturitas,
mikrosomia, BBLR, kematian perinatal). (Manuaba. 2011)
Ibu
hamil dengan anemia (kadar Hb <11 gr% , terlebih lagi < 7 gr% dapat
mengganggu peredaran nutrisi dan suplai oksigen menuju sirkulasi plasenta
sehingga menyebabkan kelainan pertumbuhan hasil konsepsi, kelainan ini dapat
menimbulkan kematian janin dan cacat bawaan yang menyebabkan hasil konsepsi di
keluarkan atau terjadi abortus) (Manuaba, 2011).
Penelitian
yang dilakukan Sulistiyo (2011) di Sukoharjo menyatakan bahwa mayoritas
kejadian abortus terjadi pada ibu hamil yang tidak mengalami anemia sebesar 62
(68,1%) dan minoritas abortus terjadi pada ibu hamil dengan anemia sedang
sebesar 4 (4,4%).
Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi salah satu
indikator penting dalam menentukan derajat kesehatan masyarakat. Pada tahun
2007 AKI di Indonesia masih tergolong tinggi di Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), jika dibanding
dengan AKI di negara tetangga seperti Filipina 94 per 100.000 per kelahiran
hidup, Vietnam yaitu 56 per 100.000 kelahiran hidup, Thailand yaitu 48 per
100.000 kelahiran hidup, Malaysia yaitu 31 per 100.000 kelahiran hidup, Brunai
yaitu 21 per 100.000 kelahiran hidup, dan Singapura 9 per 100.000 kelahiran
hidup. (WHO, 2014)
Target AKI di Indonesia pada tahun 2015
adalah 102 kematian per 100.000 kelahiran hidup. Sementara itu berdasarkan
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, AKI (yang berkaitan
dengan kehamilan, persalinan, dan nifas) sebesar 359 per 100.000 kelahiran
hidup. (Kemenkes, 2013).
AKI di Sulawesi Selatan mencapai 109 per
100.000 kelahiran hidup, angka tersebut sudah target Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN), dimana pada 2014 target AKI mencapai 118 per 100.000
kelahiran hidup. Kematian Ibu disebabkan oleh berbagai faktor , seperti
perdarahan, eklampsia, infeksi, abortus dan persalinan macet. (Kemenkes, 2013).
Berdasarkan profil Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi
Selatan tahun 2013 menyebutkan bahwa abortus adalah penyebab kesembilan
kematian Ibu yakni sebesar 6,4%. Sedangkan jumlah kematian ibu tahun 2014
sebanyak 125 per 100.000 kelahiran hidup orang dengan penyebab terbanyak adalah
pendarahan yaitu 25 jiwa (20%), plasenta previa 5 jiwa (4 %), solusio plasenta
4 jiwa (3,2 %), HDK 28 jiwa (23,14%),infeksi 2 jiwa (1,6%), ruptur uteri 5 jiwa
(4 %), atonia uteri 5 jiwa (4 %), plasenta akreta 11 jiwa (8,8 %), abortus 8
jiwa (6,4 %) dan penyebab lain 36 jiwa (28,8%). (Dinas Kesehatan Prov. Sul-Sel,
2014).
Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
2010 disebutkan bahwa persentase abortus dalam periode 5 tahun terakhir adalah
sebesar 4% pada perempuan pernah menikah usia 10-59 tahun. Dilihat per
provinsi, angka ini sangat bervariasi mulai yang terendah 2,4% yang terdapat di
bengkulu sampai dengan yang tertinggi 6,9% di papua barat serta sulawesi
selatan sebesar 6,1%. (Kemenkes, 2013).
Diolah dari berbagai Sumber Kepustakaan.
Komentar
Posting Komentar