Lebih Dekat dengan IMS
MENGENAL
LEBIH DEKAT RESIKO INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) DI MASYARAKAT
By
M. Rekar Sudirman
Penyakit menular seksual (PMS) adalah sejumlah penyakit
menular yang umumnya disebabkan oleh aktivitas seksual yang tidak aman.
Aktivitas seksual yang tidak aman meliputi aktivitas seks yang sering
bergonta-ganti pasangan, dan perilaku seks yang menyimpang. Salah satu jenis penularan penyakit seksual
adalah Infeksi Menular Seksual.
Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan satu diantara
penyebab penyakit utama di dunia yang akan memberikan dampak secara luas pada
kejadian kesakitan dan kematian, bukan itu saja infeksi menular seksual akan
memberikan dampak pada masalah ekonomi dan sosial di masyarakat, khususnya pada
penderitanya.
Pada dasarnya setiap orang yang sudah aktif secara
seksual dapat tertular IMS. Namun yang harus diwaspadai adalah kelompok yang
memiliki resiko tinggi terkena IMS yaitu orang yang suka bergonti-ganti
pasangan seksual dan perilaku seks yang tidak aman. Menurut Komisi
Penanggulangan AIDS nasional Orang yang mengidap IMS memiliki resiko yang lebih
besar untuk terinfeksi HIV yang ditularkan melalui hubungan seks. Penderita IMS
mempunyai resiko 2-9 kali lebih besar untuk tertular HIV dibandingkan bukan
penderita. Oleh karena itu program penanggulangan IMS meliputi pengamatan
penyakit, penemuan, pengobatan dan pencegahan ditingkatkan disemua daerah guna
mengurangi angka kejadian IMS di masyarakat..
Data organisasi kesehatan dunia (World Health
Organization /WHO)Secara global, setiap hari terjadi sekitar satu juta kasus
IMS yang dapat diobati, namun masih lebih banyak lagi kasus IMS lain yang tidak
dapat diobati. Separuh dari kasus tersebut terjadi di Asia. Bahkan, wilayah
regional Asia Selatan–Tenggara (termasuk Indonesia) Indonesia tercatat sebagai
wilayah terberat kedua yang menderita akibat beban penyakit tersebut.
Di Negara berkembang, komplikasi akibat infeksi menular
seksual berada diperingkat lima teratas kategori penyakit lain yang membutuhkan
perawatan. Menurut data yang dihimpun USAID (2012) Infeksi dengan IMS dapat
menyebabkan gejala akut, infeksi kronik, infertilitas, kehamilan ektopik,
kanker leher rahim dan kematian mendadak bayi dan orang dewasa.
IMS merupakan masalah
kesehatan di dunia maupun di Indonesia. Negara berkembang merupakan negara
dengan penyebaran IMS yang pesat, hal ini disebabkan adanya asimilasi,
penyerapan budaya, belum optimalnya kebijakan mengenai masalah kesehatan
reproduksi, dan perkembangan teknologi dan informasi yang belum dapat dikontrol
dengan lain merupakan beberapa hal yang dapat mendorong peningkatan kejadian IMS.
Jenis IMS yang paling banyak dikenal adalah gonore, sifilis dan Human Immunodeficiency Virus (HIV),
meskipun masih ada lebih dari 20 macam IMS lainnya. Umumnya IMS dapat sembuh
dengan pengobatan yang efektif, tetapi masih terus menjadi masalah kesehatan
masyarakat baik dinegara maju maupun di negara berkembang.
Umumnya infeksi menular seksual di masyarakat ada yang
terlaporkan dan ada yang tidak. Dimana alasan kasus ini tidak terlaporkan
adalah kurangnya pengetahuan penderita tentang apa yang mereka hadapi hingga
faktor “malu” -nya para penderita atas apa yang mereka alami yang akan menimbulkan
stigma di masyarakat. IMS sering juga disebut Penyakit kelamin yaitu penyakit
yang sebagian besar ditularkan melalui hubungan seks atau hubungan kelamin.
Dahulu jenis penyakit dikenal dengan sebutan penyakit kelamin (venereal
disease) yang berasal dari kata venus (dewi cinta). Saat ini penyakit kelamin
yang dikenal baru sifilis (syphilis) dan gonore (gonorrhea).
Menurut dirjen PP dan PL Kementerian Kesehatan pada tahun 2014 menyebutkan IMS juga
dengan istilah Penyakit Akibat Hubungan Seksual (PHS) atau Sexually
Transmitted Disease (STD).
Di Indonesia sendiri
berdasarkan survei tahun 2005 didapatkan bahwa di kalangan wanita pekerja seks
(WPS) angka kesakitan (prevalensi) IMS/ISR ulseratif (sifilis 6 – 22%), non-ulseratif
(gonore 12 – 44%), klamidiasis 35 – 56%. Hasil Survei Terpadu Biologi dan
Perilaku (STBP) tahun 2007, Prevalensi Gonore dan atau infeksi Klamidia
tertinggi dari kelompok berisiko yang disurvei ada pada WPS Langsung (49
persen), diikuti oleh Waria (46 persen), WPS Tak Langsung (35 persen), LSL (35
persen), Penasun (6 persen) dan Pelanggan (5 persen). Gonore dan Klamidia serta
beberapa penyakit kelamin lain dapat menyebabkan limfosit CD4 (limfosit T
Helper) berkumpul di daerah lokasi terinfeksi untuk melawan infeksi. Sedangkan
CD4 adalah sasaran utama HIV, itu yang menyebabkan orang berpenyakit Gonore dan
klamidia lebih mudah tertular HIV.
Sedangkan prevalensi HIV
tertinggi hasil Survei Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP) tahun 2007 ada pada
populasi Penasun (52.4 persen) diikuti oleh Waria (24.4 persen), WPS Langsung
(10.4 persen), LSL (5.2 persen), WPS Tak Langsung (4.6 persen) dan yang
terendah adalah Pelanggan Penjaja Seks (0.8 persen). Sementara itu prevalensi
Sifilis tertinggi ada pada Waria (26.8 persen), diikuti oleh WPS Langsung (14.6
persen), Pelanggan Penjaja Seks (6.2 persen), WPS Tak Langsung (6 persen), lelaki
Seks Lelaki (LSL) (4.3 persen) dan yang terendah Penasun hanya 1.2 persen.
Keberadaan virus Human Immunodeficiency (HIV) dan the Acquired immunodefiency sindrome
(AIDS) sebagai
salah satu IMS yang yang paling diwaspadai telah menarik perhatian dunia terhadap penanggulangan dan
pemberantasan IMS. Terdapat kaitan erat antara penyebaran IMS dengan penularan
HIV, baik IMS yang ulseratif maupun yang non-ulseratif, telah terbukti
meningkatkan risiko penyebaran HIV melalui hubungan seksual.
Meningkatnya jumlah
infeksi HIV menyebabkan semakin rumitnya penatalaksanaan
dan penanggulangan beberapa IMS lainnya. Misalnya, pengobatan chancroid menjadi semakin sulit di
daerah dengan prevalens infeksi HIV yang tinggi, oleh karena
Pemerintah saat ini telah membuat kebijakan pengendalian
IMS, HIV-AIDS di kabupaten/kota di Indonesia dengan program Layanan
Komprehensif Berkesinambungan (LKB) IMS dan HIV/AIDS. Namun tidak semua
fasilitas pelayanan kesehatan dasar seperti Puskesmas menyediakan program ini.
Program LKB IMS dan HIV/AIDS menyediakan program Komunikasi,
Informasi dan Edukasi (KIE) pengetahuan komprehensif, promosi penggunaan
kondom, pengendalian faktor risiko, layanan IMS, layanan Konseling dan Tes HIV (KTS
dan KTIP), Perawatan, Dukungan, dan Pengobatan (PDP), dan Pencegahan Penularan
dari Ibu ke Anak (PPIA).
Menurut USAID Family Health International (2007) Berdasarkan
standar minimum klinik IMS, maka setiap klinik IMS harus melakukan hal-hal
seperti kegiatan pencegahan, target pelayanan bagi kelompok beresiko, kelompok
inti, kelompok penghubung, pelayanan yang efektif yaitu pengobatan secepatnya
bagi orang dengan gejala IMS, program penapisan, program penatalaksanaan mitra
seksual, sistem monitoring dan surveilens yang efektif.
Keberadaan pelayanan program kesehatan IMS dan HIV/AIDS
bukan semata-mata untuk memberikan kelegalan praktik prostitusi ataupun perilaku
seks bebas di masyarakat. Namun program ini hadir untuk mengedukasi dalam
rangka mencegah penularan dan berupaya untuk menekan angka kejadian penyakit
IMS dan HIV/AIDS beserta mengurangi dampak yang ditimbulkannya
Menurut Raharjo (2009), dibentuknya klinik IMS didaerah,
bukan berarti pemerintah melegalkan keberadaan prostitusi, sehingga harus
menfasilitasi pembentukan sebuah klinik. Akan tetapi lebih didorong atas pesan
moral pada individu. Setelah pesan moral dilakukan dengan memberikan penyuluhan
bahaya penyakit seks, pencegahan dan yang terakhir langkah pengobatan. Langkah
terakhir itu harus dilakukan pemerintah terkait dengan fungsi sosialnya yaitu
menyediakan tempat kesehatan secara khusus dan bukan berbentuk klinik umum
lagi. Ini dimaksudkan agar orang lebih mudah mengenali dan terarah. Klinik IMS
diharapkan mampu mencegah penularan PMS seperti HIV/AIDS.
Adapun faktor-faktor yang memperlambat upaya mengurangi
risiko penyebaran PMS adalah kurangnya akses penderita IMS ke sarana pelayanan
kesehatan, waktu buka klinik dan lokasi klinik yang tidak strategis, keterbatasan
biaya dalam membeli kondom di apotek, toko lain atau klinik, kurangnya rasa
percaya diri, staf klinik yang memiliki sikap negatif terhadap kegiatan seks
dan penggunaan alat kontrasepsi atau karena ada larangan.
Tindakan yang dapat dilakukan untuk mecegah penularan IMS
di masyarakat serta serta mendorong kesuksesan program yang dilakukan pemerintah
untuk menekan penularan ini di masyarakat antara lain :
1. Senantiasa menerapkan pola hidup sehat, guna meningkatkan
pertahanan tubuh terhadap serangan penyakit. Serta penerapan pola hidup sehat mampu
membentengi diri terhadap hal-hal yang dapat merusak diri secara fisik termasuk
serangan penyakit. Hal ini juga termasuk di dalamnya tentang personal higiene yang
dilakukan guna mengurangi resiko serta dampak yang ditimbulkan dari IMS.
2. Bagi pelaku seks aktif untuk setia pada pasangan sahnya
(tidak bergonta-ganti pasangan) guna menghindari resiko penularan IMS. Disarankan
untuk melakukan pengecekkan kesehatan secara berkala termasuk kesehatan
reproduksi. Pada saat pemeriksaan kesehatan dianjurkan melakukan pemeriksaan
bersama pasangan, agar pasangan memiliki motivasi positif terhadap kondisi pasangannya,
serta pasangan mampu mempersiapkan diri atas segala resiko yang mungkin
terjadi.
3. Menghindari perilaku seks yang menyimpang, termasuk
praktik seks yang bersifat tidak lazim atau beresiko menularkan IMS.
4. Penggunaan alat kontrasepsi seperti komdom dianjurkan
guna menghindari resiko penularan IMS antar pasangan.
5. Mengedukasi diri terhadap resiko dan bahaya IMS, dan
berusaha untuk membangun pikiran positif bagi mereka yang telah tertular atau
beresiko tinggi tertular. Jangan jadikan mereka sebagai korban dan menjauhinya,
melainkan sebagai masyarakat kita harus mendukung mereka dengan cara secara
aktif mendorong mereka untuk melakukan upaya pengobatan dan pemeriksaan
kesehatan secara berkala, terkhsus pada masalah IMS dan HIV/AIDS.
Komentar
Posting Komentar