Menopause dan Gangguan Kecemasan

MENGENAL MENOPAUSE DAN GANGGUAN KECEMASAN
Masa lansia (lanjut usia) pada wanita sangat identik dengan masa klimakterium yaitu masa peralihan antara fase premenopause dan pascamenopause. Fase klimakterium dibagi menjadi fase premenopause, perimenopause, menopause, dan pascamenopause. Secara umum menopause berarti berhentinya siklus menstruasi yang dialami oleh seorang wanita. Perkiraan rata-rata umur menopause di Indonesia adalah 50-52 tahun (Astari, 2014).
Menopause dikenal sebagai masa berakhirnya menstruasi atau haid,dan sering dianggap menjadi momok dalam kehidupan wanita. Sebagian besar wanita mulai mengalami gejala menopause pada usai 40-an dan puncaknya tercapai pada usia 50 tahun. Namun sebelum memasuki masa menopause maka akan didapatkan sebuah masa transisi dari premenopause ke masa menopause. (Kronenberg, 1990; Freeman dan Sherif, 2007; Utian, 2005; Williams, dkk 2007). Kebanyakan mengalami gejala kurang dari 5 tahun dan sekitar 25% lebih dari 5 tahun. Namun bila diambil rata-ratanya, umumnya seorang wanita akan mengalami menopause sekitar usia 45-50 tahun.
Menopause adalah salah satu fase yang akan dialami oleh setiap wanita dan ditandai dengan 12 bulan secara berturut-turut tanpa mengalami siklus menstruasi. Ovarium akan mengalami ketidakmampuan dalam memproduksi estrogen. Ketidakmampuan tersebut biasanya dimulai pada akhir usia 30 tahun dan akan komplet saat berusia 50 tahun (Goodman, 2011). Menopause juga merupakan tanda berakhirnya fase reproduksi wanita (Voorhuis, 2012). Akibat perubahan dari fase menstruasi menjadi menopause, terjadi beberapa gejala psikologis seperti depressi.
Salah satu gejala psikis yang sering ditemukan pada wanita premenopause adalah kecemasan. Wanita premenopause rentan terpengaruh terhadap emosi dari fluktuasi hormon. Kecemasan merupakan salah satu penyakit psikiatri yang memiliki prevalensi tinggi. Prevalensi kecemasan premenopause dengan ketegori ringan sebanyak 53,3% dan mereka memiliki respon yang beragam terhadap premenopause. Tahun 2013 prevalensi penduduk Indonesia yang mengalami gangguan mental emosional termasuk didalamnya kecemasan adalah 6,0%.
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2012), diperkirakan pada tahun 2020 jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 262,6 juta jiwa dengan jumlah wanita  yang hidup dalam umur menopause sekitar 30,3 juta jiwa atau 11,5 % dari total penduduk, dengan umur rata-rata 49 tahun. Gejala yang sering muncul saat menjalani masa menopause dapat dikelompokkan menjadi dua. Berhubungan dengan penurunan esterogen seperti hot flashes, berkeringat saat malam dan kekeringan pada vagina. Adapula gejala yang tidak berhubungan dengan menopause seperti osteoporosis, depress mood, irritability, penurunan elastisitas kulit, restless legs dan nyeri pada otot serta sendi (Milson, 2011).
Saat seseorang mengalami masa premenopause akan berpengaruh pada kesehatannya baik fisik maupun psikis bila tidak ditangani secara serius. Fungsi reproduksi yang menurun menimbulkan dampak ketidaknyamanan dalam menjalani kehidupan (Aprilia, 2012). Beberapa penelitian menyatakan 75% wanita yang mengalami menopause merasakannya sebagai suatu permasalahan atau gangguan, dan 25% lainnya tidak mempermasalahkannya (Ismiyati, 2010).
Akibat perubahan dari haid menjadi tidak haid lagi, otomatis terjadi perubahan organ reproduksi wanita (William dkk, 2007; Rossow, dkk, 2007; Kronenberg dan Downey, 1987). Perubahan fungsi indung telur akan memengaruhi hormon dalam yang kemudian memberikan pengaruh pada organ tubuh wanita pada umumnya (Guthrie, Dennerstein, Hopper, dan Burger, 1996; Visvnathan, Gallicchio, Schilling, dkk, 2005; Freedman, Norton, Woodward, dkk, 1995). Tidak heran apabila kemudian muncul berbagai keluhan fisik, baik yang berhubungan dengan organ reproduksinya maupun organ tubuh pada umumnya.
Tidak hanya itu, perubahan ini seringkali memengaruhi keadaan psikis seorang wanita. Keluhan psikis sifatnya sangat individual yang dipengaruhi oleh sosial budaya, pendidikan, lingkungan, dan ekonomi. Keluhan fisik maupun psikis ini tentu saja akan mengganggu kesehatan wanita yang bersangkutan termasuk perkembangan psikisnya (Kronenberg, 1990; Utian, 2005). Selain itu, bisa memengaruhi kualitas hidupnya. Dalam menyingkapi dirinya yang akan memasuki masa menopause, beberapa wanita menyambutnya dengan biasa. Mereka menganggap kondisi ini sebagai bagian dari siklus hidupnya.
Salah satu gejala psikis yang sering ditemukan pada wanita premenopause adalah kecemasan. Kecemasan yang muncul pada wanita menopause dihubungkan dengan kekhawatiran saat menghadapi  situasi yang sebelumnya tidak pernah dikhawatirkan. Umumnya kecemasan timbul karena mereka tidak mendapat informasi yang benar (Rostiana, 2010).
Dari penelitian tentang wanita menopause, menurut Winarsih dan Hesti (2009) kecemasan pada wanita premenopause dengan kategori ringan sebesar 53,3% dan mereka mempunyai respon yang beragam saat datangnya masa premenopause yaitu mengalami kecemasan, depresi, stress, dan mudah marah (Rostiana, 2010). Pada tahun 2013 prevalensi penduduk Indonesia yang mengalami gangguan mental emosional yang termasuk didalamnya kecemasan adalah 6,0% dan prevalensi di Bali adalah 4,4%(Riskesdas, 2013).
Kecemasan pada masa premenopause merupakan salah satu gejala sindrom menopause. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dengan proyeksi penduduk pada 2008 sebesar 5.320.000 wanita memasuki masa menopause per tahunnya. Sebanyak 68% diantaranya menderita sindrom menopause dan hanya 62% dari penderita yang menghiraukannya. Sindrom menopause dialami oleh wanita hampir di seluruh dunia (Lutfiwati, 2012).
Pada penelitian yang dilakukan di Iran pada tahun 2012 didapatkan prevalensi wanita menopause yang mengalami kecemasan adalah 5,8%. Pada penelitian yang dilakukan di Iran pada tahun 2012 didapatkan prevalensi wanita menopause yang mengalami kecemasan adalah 5,8% (Asadi, 2012).
Banyak wanita yang mengeluh bahwa dengan datangnya menopause mereka akan menjadi pencemas. Kecemasan yang muncul pada wanita menopause sering dihubungkan dengan adanya kekhawa- tiran dalam menghadapi suatu situasi yang sebelumnya tidak pernah dikhawatirkan. Wanita seperti ini sangat sensitif terhadap pengaruh emosional dari fluktuasi hormon. Umumnya mereka tidak mendapat infor- masi yang benar sehingga dibayangkannya adalah efek negatif yang akan dialami setalah memasuki masa menopause. Mereka cemas dengan berakhirnya era reproduksi yang berarti berhentinya nafsu seksual dan fisik. Apalagi menyadari dirinya akan menjadi tua, yang berarti kecantikannya akan memudar.
 Seiring dengan hal itu, validitas dan fungsi organ tubuhnya akan menurun. Hal ini akan menghilangkan kebanggaannya sebagai wanita. Keadaan ini dikhawatirkannya akan memengaruhi hubungannya dengan suami maupun lingkungan sosialnya. Selain itu, usia ini sering dikaitkan dengan timbulnya penyakit kanker atau penyakit lain yang sering muncul pada saat wanita memasuki usia tua.
Gejala kognitif yang subjek alami pada saat ini yang akan menghadapi menopause adalah gangguan tidur, dimana subjek baru mengalami gejala tersebut baru-baru ini sekitar enam bulanan. Gejala tersebut seperti tidur yang gelisah dan berkeringat (Freeman dan Sherif, 2007; Utian, 2005; Williams, Kalilani, DiBenedetti, Zhou, Fehnel, dan Clark, 2007).
Selain itu subjek juga terpaku pada bahaya yang tidak jelas seperti takut akan menghadapi menopause sehingga subjek tidak siap untuk menghadapi menopause sebab subjek takut tidak cantik lagi, keriput dan tua serta ia takut terlihat tidak menarik lagi bagi suaminya (Kronenberg, 1990). Sesuai yang dikatakan Sue dkk dalam Haber dan Runyon (1984) gejala kognitif dimanifestasikan ke dalam pikiran individu, dimana gejala yang tampak dalam individu seperti gelisah, sulit tidur dan terlalu terpaku pada bahaya yang tidak jelas. Disini dapat dilihat bahwa subjek menglami gejala tersebut karena akan menghadapi menopause.
Berdasarkan penelitian Berntsson, Krantz,& Lundberg (2003) menunjukkan bahwa perempuan menghabiskan waktu lebih banyak untuk pengasuhan anak, pekerjaan rumah dari pada laki-laki dan apabila wanita bekerja memiliki beban kerja ganda karena harus menyelesaikan pekerjaan rumah, mengasuh anak dan menyelesaikan pekerjaannya. Berbagai hasil penelitian menunjukan bahwa para wanita yang berperan ganda memiliki efek negative seperti meningkatnya stress, depresi dan gejala fisik (Barnett & Hyde, 2001).
Gangguan-gangguan ketika memasuki masa menopause dirasakan berbeda oleh perempuan satu dengan yang lainnya, dikarenakan keadaan psikis mereka juga berbeda. Bagi perempuan pekerja, memasuki masa menopause akan sangat dirasakan, mereka menjadi lebih mudah mengalami stres. Hal itu disebabkan oleh adanya dua peran dalam kehidupannya, yakni selain menjadi seorang ibu juga dia berperan mencari nafkah. Seperti yang dipaparkan oleh Simanjuntak dan Erniyati (2007) bahwa perempuan menopause pencari nafkah mudah mengalami stres yang bersumber dari lingkungan kerja, tuntutan kerja, tanggung jawab kerja, lingkungan fisik tempat kerja, hubungan yang kurang baik antar manusia, kurangnya pengetahuan dan peningkatan jenjang karir, dan perasaan kurang aman ketika bekerja menjadi alasannya.
Perubahan tersebut adalah hal yang wajar, namun tidak jarang menimbulkan gangguan pada diri seorang menjelang menopause. Greenblum, Rowe, Neff dan Greenblum (2012) mengatakan bahwa pada saat perempuan mengalamimenopause dapat mempengaruhi kualitas dalam hidupnya. Lebih dari 80% wanita melaporkan menunjukan gejala secara fisik maupun psikis.
Pada saat menjelang menoupose dengan bermacam-macam level gangguan dan mengganggu kehidupannya. Gejala yang dialami pada saat menjelang menoupase memiliki variasi dan ada jarak antara gejala psikis dan psikologis.
Gejala fisik yang terlihat seperti berkeringat dimalam hari, gangguan tidur, vagina kering, inkontensia urin, penurunan berat badan. Gejala psikologis yang muncul pada wanita menjelang menoupouse adalah kelelahan, cepat marah dan kecemasan. Tercatat dalam sebuah penelitian yang menyebutkan hampir seluruh perempuan di dunia mengalami sindrom pre-menopause, data menyebutkan bahwa di negara-negara Eropa mencapai 70-80%, Amerika 60%, Malaysia 57%, China 18%, serta Jepang dan Indonesia 10%. Catatan tersebut mengemukakan bahwa banyak dari perempuan pada masa menjelang menopause mengalami perubahan, baik perubahan tersebut dalam hal fisik maupun psikologis (Fitriana, 2011).
Sindrom premenopause dialami oleh banyak wanita hampir diseluruh dunia, sekitar 70-80% wanita Eropa, 60% di Amerika, 57% di Malaysia, 18% di Cina di Jepang dan Indonesia. Dari beberapa data tampak bahwa salah satu faktor dari perbedaan jumlah adalah karena pola makannya.Wanita Eropa dan Amerika mempunyai estrogen yang lebih banyak daripada Asia. Ketika terjadi menopause, wanita Eropa dan Amerika estrogennya menurun drastis dibanding wanita Asia yang kadarestrogennya moderat. Penurunan kadar estrogen tersebut sering menimbulkan gejala yang sangat mengganggu aktivitas kehidupan para wanita (Proverawati,2010).
Menurut Depkes RI (2009) hingga saat ini wanita Indonesia yang memasuki masa menopause sebanyak 7,4% dari populasi. Jumlah tersebut meningkat menjadi 11% pada tahun 2005.Kemudian, naik lagi sebesar 15% pada tahun 2015. Meningkatnya jumlah tersebut, sebagai akibat bertambahnya populasi penduduk usia lanjut dan tingginya usia harapan hidup dibarengi membaiknya derajat kesehatan masyarakat. Jumlah dan proporsi penduduk perempuan yang berusia 50 tahun dan diperkirakan memasuki usia menopause dari tahun ke tahun juga mengalami peningkatan yang sangat signifikan.
Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2000 jumlah perempuan berusia diatas 50 tahun baru mencapai 15,5 juta orang 7,6% dari total penduduk, sedangkan tahun 2020 jumlahnya diperkirakan meningkat menjadi 30,0 jiwa atau 11,5% dari total penduduk (Depkes RI, 2005).

Usia menopause di Indonesia ± 49 tahun, tetapi biasanya sejak wanita di atas 40 tahun menstruasi sudah tidak teratur. Siklus sering kali terjadi tanpa pengeluaran sel telur, hal ini berarti kemungkinan untuk hamil kecil, namun bila terjadi kehamilan pada usia ini, kemungkinan besar memperoleh anak yang cacat atau dengan kualitasyang kurang baik. Masa 4-5 tahun sebelum menopause disebut klimakterium, dimana wanita mulai merasakan perubahan yang gejala timbulnya tidak sama, bergantung pada faktor budaya, tingkat pendidikan, lingkungan dan genetika (Intan dan Iwan, 2012).

Diolah dari Berbagai sumber
Penyusun M. Rekar Sudirman S.Km M.Kes

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Audit, Sertifikasi, dan Akreditas apa Bedanya?

Mengenal Tentang MUN "Model United Nations"

MENTAL BLOCK