KEBISINGAN DAN RESIKO GANGGUAN PENDENGARAN PADA PEKERJA

Pengaruh utama kebisingan terhadap kesehatan adalah kerusakan pada indera-indera pendengaran yang menyebabkan ketulian,baik yang sifatnya sementara ataupun permanen. Ketulian akibat bising dari suatu pabrik terjadi secara perlahan-lahan dan tidak dirasakan oleh tenaga kerja. Pada saat tenaga kerja menyadari adanya gangguan pendengaran biasanya sudah berada dalam keadaadn permanen yang disebut irreversible (Budiman, 2005).
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi daya kerja seseorang tenaga kerja,dimana manusia sebagai unsur  utama dalam proses industri yang mempergunakan mesin-mesin ankan mempercepat dan memepertinggi angka produksi, selain itu dapat menimbulkan gangguan pendengaran bagi tenaga kerja ( Haryono, 2008).
Lingkungan kerja yang tidak memenuhi syarat kesehatan dapat menimbulkan beban tambahan pada jasmani dan rohani karyawan, beban tambahan ini dapat dipengaruhi oleh lima faktor penyebab yaitu faktor fisik, kimia, fisiologi dan mental psikologis. Kebisingan merupakan salah satu faktor bahaya fisik yang dijumpai ditempat kerja. Seiring dengan proses industrialisasi, yang disertai dengan kemajuan teknologi dan pertumbuhan ekonomi yang setiap tahun berkembang,maka ancaman terjadinya risiko gangguan akibat kebisingan juga akan semakin bertambah (Wahyu, 2003).
Faktor fisik tersebut dapat mempengaruhi daya kerja seorang tenaga kerja, dimana manusia sebagai unsur utama dalam proses produksi memerlukan upaya perlindungan dari dampak yang mungkin timbul di tempat kerja dengan meningkatnya industri yang mempergunakan mesin-mesin akan mempercepat dan mempertinggi angka produksi, selain itu dapat menimbulkan gangguan pendengaran bagi tenaga kerjA (Haryono, 2008).
Kebisingan tingkat tinggi dapat menyebabkan efek jangka pendek dan jangka panjang pada pendengaran. Semakin tinggi intensitas tingkat intensitas dari kebisingan, potensi untuk menimbulkan berbagai gangguan seperti kehilangan pendengaran sementara sampai permanen, pusing mengantuk, tekanan darah tinggi stress emosional, yang dapat diikuti sakit maag,sulit tidur, sakit jantung serta kehilangn konsentrasi (Anies, 2005).
Dalam mewujudkan kesehatan kerja di suatu perusahaan dituntut adanya fasilitas kesehatan yaitu semua usaha dan sarana untuk memudahkan urusan yang menyangkut kesehatan pegawai/tenaga kerja itu termasuk pemeriksaan kesehatan awal,pemeriksaan kesehatan berkala dan pemeriksaan kesehatan khusus (Wahyu, 2003).
Menurut UU RI No. 23 tahun 1992 ayat 1, 2 dan 3 menyebutkan bahwa kesehatan kerja diselenggarakan untuk mewujudkan produktivitas kerja yang optimal(ayat 1). Kesehatan kerja meliputi pelayanan kesehatan kerja, pencegahan penyakit akibat kerja (ayat 2). Setiap tempat kerja wajib menyelenggarakan kesehatan kerja (ayat 3) (Widyatama, 2006).         
Namun dalam batasan-batasan tertentu hal tersebut sering terabaikan sehingga dapat menimbulkan keluhan-keluhan bagi tenaga kerja baik secara langsung dirasakan maupun tidak langsung yang dirasakan oleh tenaga kerja.  Gangguan  pemajanan kebisingan terhadap tenaga kerja  sangat bervariasi tergantung dari tingkat intensitas dan karakteristik kebisingan. Dari sudut pandang ergonomi, pengaruh pemajanan kebisingan pada intensitas yang rendah umumnya berupa gangguan komunikasi, ketidaknyamanan dan gangguan performansi kerja. Tetapi, pada pemajanan kebisigan dengan intensitas yang lebih tinggi khususnya yang melebihi nilai ambang batas (NAB >85 dB) dan dalam waktu yang lama dapat menurunkan fungsi indera pendengaran yang bersifat sementara kemudian berlanjut permanen ( Tarwaka, 2004).
Kebisingan yang melebihi nilai ambang pendengaran dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama serta berulang-ulang dapat menyebabkan gangguan pendengaran yang menetap, gangguan pendengaran yang terjadi akibat bising dikenal sebagai gangguan pendengaran akibat bising. Mesin pembangkit tenaga listrik juga merupakan sumber kebisingan karena putaran yang tinggi, namun kebisingan dari mesin itu sendiri tidak bisa dihilangkan. Lingkungan kerja seperti penbangkit tenaga lisrtik dan lainnya sering dijumpai kebisingan yang cukup tinggi, rata-rata diatas 95 dB. Dengan tingkat kebisingan yang tinggi, jika seseorang berada pada lingkungan tersebut terlalu lama dan berulang-ulang maka resiko fungsi pendengaran akan bertambah. (http://fansanova-health.2009 blogspot.com).
Berdasarkan perrmenkes No.718/Menkes/Per/XI/1999, yang disebut kebisingan adalah terjadinya bunyi yang tidak dikehendaki sehingga mengganggu  atau membahayakan kesehatan. Pengaruh utama dari kebisingan terhadap kesehatan adalah kerusakan pada indera-indera pendengaran yang menyebabkan ketulian, baik yang sifatnya sementara ataupun permanen. Ketulian akibat bising dari suatu pabrik terjadi secara perlahan-lahan dan tidak dirasakan oleh tenaga kerja. Pada saat tenaga kerja menyadari adanya gangguan pendengaran biasanya sudah berada dalam keadaan permanen yang irreversible (Suma’mur, 1999)
Data Organisasi kesehatan dunia (WHO) menyebutkan, tahun 2005 terjadi 250 juta(4,2%) penduduk dunia mengalami gangguan pendengaran dan sekitar 50%-nya (75-140 juta berada di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Penderita gangguan pendengaran di Indonesia cukup dominan, menduduki nomor 4 dengan angka 4,6% sesudah Srilanka (8,8%), Myanmar (8,4%) dan India(6,3%). Mengingat pentingnya kondisi ini,beberapa negara di Asia tenggara,termasuk Indonesia, menyepakati tanggal 3 maret sebagai peringatan hari kesehatan telinga dan pendengaran (HKTP). Tahun 2010 merupakan tahun pertama Idonesia memperingati HKTP (http://kosmo.vivanews.com/newss/2010 read/133548 jangan sepelekan gangguan pendengaran).
Data Indonesia berdasarkan survey kesehatan Indera penglihatan dan pendengaran tahun 2007-2008 juga menunjukkan morbiditas yang tinggi, penyakit telinga adalah 18,5%, prevalensi gangguan pendengaran adalah 16, 8% sedangkan ketulian didapatkan pada 0,4% (http//www.ketulian.com/v1/web/ 2009index. php?to=article&id=3)
Dibanyak Negara seperti Amerika dan Indonesia sendiri menetapkan NAB 85 dB untuk 8 jam kerja sehari sebagai batas aman untuk kesehatan pendengaran. Sedangkan untuk beberapa negara, seperti di Eropa masih menetapkan NAB sebesar 90 dB (Tarwaka,2007).

Tinggnya angka resiko gangguan pendengaran akibat linkungan kerja fisik yang tidak aman merupakan salah satu sebuah gambaran lemahnya pengawasan terhadap bahaya kebisingan di tempat kerja. Pihak penyelenggara kerja juga seharusnya dapat melihat ini sebagai sebuah kerugian karena hal ini akan mempengaruhi pendapat public tentang citra perusahaan, menurunkan kualitas dan keuntungan perusahaan, dan membuktikan bahwa perusahaan tidak dapat melindungi aset perusahaan (pekerja). Salah satu langkah yang dapat ditempuh oleh pihak perusahaan adalah melaksanakan kewajiban serta memberikan hak pekerja seperti penyediaan alat pelindung diri serta mengawasi kepatuhan pekerja dalam pemakaiaannya, mampu meminimalisir resiko kebisingan dengan cara modifikasi pada alat yang menyebabkan kebisingan tersebut, serta melakukan pemeriksaan kesehatan berkala guna mematau damapak paparan kebisingan serta resiko penyakit lain pada pekerja, pemberian upah apada pekerja juga patut diperhitungkan pada pekerja yang telah terbukti mendapatkan dampak dari pekerjaannya, sebagai bukti dari tanggung jawab pekerjaan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Audit, Sertifikasi, dan Akreditas apa Bedanya?

Mengenal Tentang MUN "Model United Nations"

MENTAL BLOCK