KONSEP NYERI DAN PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR MANUSIA PASCA TINDAKAN OPERASI (KEBUTUHAN ELIMINASI)
Disusun Oleh :
M. Rekar Sudirman
1. Nyeri
dan Konsep Dasar
a. Pengertian
Setiap
manusia dapat mengalami nyeri yang merupakan sensasi tidak enak. Nyeri
merupakan tanda penting terhadap adanya gangguan fisiologis. Banyak pasien yang
datang ke rumah sakit atau Puskesmas dengan keluhan nyeri yang biasa disertai
dengan keluhan lainnya seperti rasa tertekan, panas atau dingin. Nyeri secara
umum dapat didefinisikan sebagai suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan
maupun berat.
Nyeri
adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari
kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. Nyeri sangat mengganggu dan
menyulitkan lebih banyak orang dibanding suatu penyakit manapun (Brunner dan
Suddarth, 2002).
Nyeri
dapat dibedakan menjadi nyeri akut dan nyeri kronik. Nyeri akut biasanya
berlangsung secara singkat misalnya nyeri pada patah tulang atau nyeri pada
pembedahan abdomen. Pasien yang mengalami nyeri akut biasanya menunjukkan gejala-gejala
antara lain : respirasi meningkat, kecepatan jantung dan tekanan darah
meningkat dan kalor. Respon seseorang terhadap nyeri bervariasi, ada yang
sakit. Nyeri kronik berkembang lebih lambat dan terjadi dalam waktu lebih lama
dan pasien sulit mengingat sejak kapan pasien mulai merasakan.
Nyeri
juga dapat dinyatakan sebagai nyeri somatogenik atau psikogenik. Nyeri
sometogenik merupakan nyeri secara fisik, sedangkan nyeri psikogenik merupakan
nyeri psikis atau mental (Priharjo.R, 2002).
Definisi
keperawatan tentang nyeri adalah, apapun yang menyakitkan tubuh yang dikatakan
individu yang mengalaminya, yang ada kapanpun individu mengatakannya. Peraturan
utama dalam merawat pasien dengan nyeri adalah bahwa semua nyeri adalah nyata.
Definisi ini didasarkan pada dua pokok penting. Pertama, perawat percaya kepada
pasien saat mereka menunjukkan bahwa mereka merasakan nyeri. Nyeri dianggap
nyata meskipun tidak ada penyebab fisik atau sumber yang dapat diidentifikasi.
Meskipun
beberapa sensasi nyeri dihubungkan dengan status mental atau status psikologis,
pasien secara nyata merasakan sensasi nyeri dalam banyak hal dan tidak hanya
membayangkannya saja. Kebanyakan sensasi
nyeri adalah akibat dari stimulasi fisik dan mental atau stimuli emosional.
Oleh karena itu, mengkaji nyeri individu mencakup pengumpulan informasi tentang
penyebab fisik dari nyeri juga faktor mental atau emosional yang mempengaruhi
persepsi individu tentang nyeri. Intervensi keperawatan diarahkan pada kedua
komponen tersebut (Priharjo.R, 2002).
2. Proses
Terjadinya Nyeri
Nyeri diawali sebagai pesan yang diterima oleh
saraf-saraf perifer. Zat kimia (substansi P, bradikinin, prostagandin)
dilepaskan, kemudian menstimulasi saraf perifer, membantu mengantarkan pesan
nyeri dari area yang terluka ke otak, dan menyusun tahap untuk penyembuhan
(respon inflamasi). Sinyal nyeri dari area yang terluka berjalan sebagai impuls
elektrokimia disepanjang nervus ke bagian dorsal spinal cord (area pada spinal
yang menerima sinyal dari seluruh tubuh).
Pesan kemudian dihantarkan ke thalamus, pusat sensoris di
otak dimana sensasi seperti panas, dingin, nyeri, dan sentuhan pertama kali
dipersepsikan. Pesan lalu dihantarkan ke cortex, dimana intensitas dan lokasi
nyeri dipersepsikan. Penyembuhan nyeri
dimulai sebagai signal dari otak kemudian turun ke spinal cord. Di bagian
dorsal, zat kimia seperti endorphin S dilepascan untuk mengurangi nyeri di area
yang terluka (Carol dan Priscilla, 1997).
Dalam spinal cord, ada gerbang yang dapat terbuka atau
tertutup. Saat gerbang terbuka, impuls nyeri lewat dan dikirim ke otak. Gerbang
juga bisa ditutup. Stimulasi saraf sensoris dengan menggaruk secara perlahan di
dekat area nyeri dapat menutup gerbang sehingga mencegah transmisi impuls
nyeri. Impuls dari pusat juga dapat menutup gerbang, misalnya perasaan sembuh
dapat mengurangi dampak atau beratnya nyeri yang dirasakan (Patricia dan
Stanley, 1995).
Persepsi nyeri diikuti oleh reaksi terhadap nyeri.
Beberapa orang dapat menerima nyeri dan menghadapinya dengan sabar; sedang yang
lain bisa menjadi depresi dan menarik diri. Beberapa orang menjadi takut dan
cemas, sedang yang lain toleransi dan optimis. Beberapa orang menangis,
meraung, berteriak, minta pertolongan, mengancam untuk melukai diri sendiri,
memukul bantal. atau ke sana kemari tanpa tujuan saat mereka merasakan nyeri
hebat. Sedang yang lain berbaring tenang di tempat tidur dan menutup mata,
merapatkan giginya, menggigitbibirnya, menggenggam tangannya, atau berkeringat
saat merasakan nyeri (Kathleen, et al, 1975).
Nyeri mempunyai fungsi protektif. Anak-anak belajar untuk
tidak mengulangi perilaku tertentu yang akan menyebabkan mereka terluka dan
mengalami nyeri lagi; misalnya menyentuh benda yang panas atau tajam. Nyeri
hebat pada salah satu bagian tubuh bisa menyebabkan penderitanya mencari
bantuan kesehatan untuk mengatasi penyebabnya. Profesi kesehatan menggunakan
timbulnya nyeri akut sebagai alat diagnostik, asal dan lokasinya pada beberapa
kasus menunjukkan kondisi khusus. Perubahan derajat nyeri bisa menjadi indikasi
meningkat atau menurunnya penyebab nyeri. Keterampilan perawat dalam
mengobservasi bisa membantu diagnosis yang akurat dan membantu manajemen yang
efektif (Patricia dan Stanley, 1995).
Nyeri mempengaruhi setiap klien dengan cara yang unik,
dan perawat harus menentukan lokasi, intensitas, dan tipe nyeri, perubahan
tanda-tanda vital, dan data subjektif dan objektif dari persepsi klien terhadap
nyeri, sebaik efek pengobatan, posisi dan latihan. Nyeri insisi harus dibedakan
dari nyeri yang lain. Nyeri insisi cenderung meningkat selama 48 jam setelah
pembedahan dan secara bertahap menurun (Diane dan Lillian, 1982)
3. Patofisiologi
Nyeri
Menurut
Husni Tanra (1997) penelitian laboratorium
menunjukkan bahwa menyusul suatu trauma atau operasi maka input nyeri dari
perifer ke sentral akan mengubah ambang reseptor nyeri baik di perifer maupun
di sentral (kornu pascaerior medulla spinalis). Kedua reseptor nyeri tersebut
di atas akan menurun ambang nyeri-nya, sesaat setelah terjadi input nyeri.
Perubahan
ini akan menghasilkan suatu keadaan yang disebut sebagai hipersensitifitas baik
perifer maupun sentral. Perubahan ini dalam klinik dapat dilihat, dimana daerah
perlukaan dan sekitarnya akan berubah menjadi hiperalgesia. Daerah tepat pada
perlukaan akan berubah menjadi allodini, artinya dengan stimuli lemah, yang
normal tidak menimbulkan rasa nyeri, kini dapat menimbulkan nyeri, daerah ini
disebut juga sebagai hiperalgesia primer. Di lain pihak daerah sekitar
perlukaan yang masih nampak normal juga berubah menjadi hiperalgesia, artinya
dengan suatu stimuli yang kuat, untuk cukup menimbulkan rasa nyeri, kini
dirasakan sebagai nyeri yang lebih hebat dan berlangsung lebih lama, daerah ini
juga disebut sebagai hiperalgesia sekunder.
Menurut
Tanra (1997) kedua perubahan tersebut di
atas, baik hiperalgesia primer maupun hiperalgesia sekunder merupakan
konsekuensi terjadinya hipersensitifltas perifer dan sentral menyusul suatu
input nyeri akibat suatu trauma atau operasi. Ini berarti bahwa susunan saraf
kita, baik susunan saraf perifer maupun susunan saraf sentral dapat berubah
sifatnya menyusui suatu input nyeri yang kontinyu.
a) Respon
lokal
Akibat
terjadinya kerusakan sel dalam jaringan. maka akan terlepas substansi nyeri.
Substansi nyeri ini berasal dari 3 tempat yakni, yang pertama dari kerusakan
sel itu sendiri yang akan melepas Histamin, Kalium, Asetilkolin, Serotonin, dan
ATP. Selain itu, terjadi sintesa Prostaglandin dari metabolisme asam
arakhidonat dengan bantuan siklooksigenase.
Yang
kedua, substansi nyeri berupa Bradikinin dilepascan dari plasma darah melalui
pembuluh darah yang berubah permeabilitasnya. Yang ketiga, substansi nyeri yang
dilepascan dari ujung-ujung saraf sendiri yang disebut substan P.
Akibat
dari terlepasnya substansi nyeri tersebut diatas menyebabkan
perubahan-perubahan lokal yang oleh Celsus, seorang dokter jaman Romawi,
menyebutnya sebagai tanda-tanda inflamasi berupa kemerahan (rubor), hangat
(calor), pembengkakan (tumor), nyeri (dolor), dan gangguan fungsi (functio
laesa). Dalam klinik, perubahan itu tampak sebagai gejala hiperalgesia atau
allodini (Handerwerker dan Wolt dalam Husni Tanra tahun1997).
Gejala
hiperalgesia dan allodini ini menjadi penting dalam klinik, sebab sekali
terjadi hal ini dibutuhkan dosis obat analgesik yang lebih tinggi untuk
menghilangkannya.
b) Respon
segmental
Impuls
nyeri perifer yang dibawa oleh serabut saraf A delta dan serabut C selain akan
mengaktifkan kornu pascaerior medulla spinalis, juga mengaktifkan kornu
anterior dan lateralis dari medulla spinalis yang pada gilirannya akan
memberikan respon berupa spasme otot, spasme pembuluh darah, dan menekan akti
vitas saluran cerna (usus). Spasme otot yang terjadi pada gilirannya menjadi
sumber stimuli yang baru sehingga meningkatkan rasa nyeri dan mengakibatkan
terjadinya spasme otot yang lebih hebat lagi, jadi merupakan siklus visiousus.
Demikian
pula halnya dengan terjadinya spasme pembuluh darah yang menyebabkan iskemia
dan hipoksia setempat, yang menimbulkan asidosis. Asidosis pada gilirannya
menurunkan ambang nyeri sehingga rasa nyeri makin meningkat dan seterusnya.
Selain itu, akibat input nyeri dari kulit, akan merangsang timbulnya refleks
kutaneoviseral yang menyebabkan menurunnya aktivitas (peristaltik) usus, yang
mengandung terjadinya ileus pasca bedah. Oleh karena itu tanpa pengelolaan
nyeri pasca bedah, penderita cenderung mengalami ileus paralitikus hebat dari
tertekannya aktivitas usus, sehingga puasa pasca bedah lebih lama dan proses
penyembuhan memanjang (Bonica.JJ dalam Husni Tanra,1997).
c) Respon
suprasegmental
Menurut
Husni Tanra (1997) respon suprasegmental ini
bersumber dari stimulasi dan pusat saraf di hipothalamus yang pada gilirannya
menimbulkan hiperventilasi atau takipnu dan meningkatkan aktifitas saraf
simpatis yang pada gilirannya akan meningkatkan denyut jantung, isi sekuncup
jantung, dan curah jantung semenit. Selain itu meningkatnya aktivitas simpatis
menyebabkan vasokonstriksi dan pelepasan hormon steroid dari glandula
suprarenal yang pada gilirannya menimbulkan gejala hipertensi.Pada dasarnya akibat
meningkatnya aktivitas Mpothalamus menimbulkan terlepasnya berbagai macam
hormon yang disebut sebagai hormon stres yang merugikan penderita.
d) Respon
kortikal
Respon
kortikal merupakan respon psikodinamik seseorang terhadap suatu pembedahan. Hal
ini akan menyebabkan terjadinya mekanisme psikodinamik yang akan menghasilkan
perasaan cemas, takut, dan gelisah. Hal ini akan mengundang umpan balik yang
pada gilirannya menurunkan ambang nyeri penderita, sehingga penderita akan
merasa lebih nyeri lagi (Bonica JJ dalam Husni Tanra, tahun 1997)
Dari
keempat respon tubuh diatas dapat disimpulkan bahwa respons tubuh terhadap
suatu pembedahan atau nyeri yang akan menghasilkan reaksi endokrin, dan
imunologik, yang secara umum disebut sebagai respon stres. Respon stres ini
sangat merugikan penderita karena selain akan menurunkan cadangan dan daya
tahan tubuh, meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung, mengganggu fungsi
respirasi dengan segala konsekuensinya, juga akan mengundang resiko terjadinya
tromboemboli yang pada gilirannya meningkatkan morbiditas dan mortalitas
pascabedah (Kehelt 1998 dalam Husni Tanra, 1997).
4. Mengkaji
Persepsi Nyeri
a. Intensitas Nyeri dapat diukur dengan menggunakan skala
VAS (Visual Analog Scale)
Skala
VAS (Visual Analog Scale) adalah
suatu skala garis yang panjangnya 10 cm dengan skala 0 – 10 cm. Semakin
mendekati angka 0, semakin tidak nyeri dan sebaliknya, semakin mendekati angka
10 maka akan semakin nyeri. Individu diminta untuk membuat tingkatan nyeri pada
skala verbal (misalnya nyeri ringan, nyeri sedang dan nyeri berat).
|
|||
![]() |
0 1 2 3 4 5 6 7 8 910
Keterangan:
Nyeri
ringan : Bila skala intensitas nyeri numerik 1 – 4
Nyeri
sedang : Bila
skala intensitas nyeri numerik 5 – 7
Nyeri
hebat : Bila skala intensitas nyeri numerik 8 – 10
b. Karakteristik
Nyeri
Menurut
Brunner dan Suddarth tahun 2002, alat-alat pengkajian nyeri dapat digunakan
untuk mengkaji persepsi nyeri seseorang. Agar alat-alat pengkajian nyeri dapat
bermanfaat, alat tersebut harus memenuhi kriteria berikut : (1) mudah
dimengerti dan digunakan, (2) memerlukan sedikit upaya pada pihak pasien, (3)
mudah dinilai, dan (4) sensitif terhadap perubahan kecil dalam intensitas
nyeri. Alat-alat pengkajian nyeri dapat digunakan untuk mendokumentasikan
kebutuhan intervensi, untuk mengevaluasi efektivitas intervensi dan untuk
mengidentifikasi kebutuhan akan intervensi alternatif dan tambahan jika
intervensi sebelumnya tidak efektif dalam meredakan nyeri individu.
Nyeri
sukar digambarkan; saat pasien mengeluh nyeri, dengarkan (lakukan sesuatu)
karena nyerinya adalah apa yang ia rasakan meskipun ia mungkin kesulitan
menggambarkannya. Observasi objektif yang bisa ditemui yakni (Brunner dan
Suddarth, 2002) :
1) Kulit-
menjadi pucat, dingin dan lembab saat nyeri hebat dan lama.
2) Ekspresi
wajah- kening mengernyit, mulut dan gigi terkatup rapat; pasien mungkin
meringis.
3) Mata-
tertutup rapat atau terbuka; pupil mungkin diatasi.
4) Nadi-nadi
mungkin meningkat atau menurun dengan beragam intensitas.
5) Respirasi - frekuensinya meningkat dan berubah
karakternya.
6) Tekanan darah- bisa berubah jika terjadi nyeri.
7) Muskuloskeletal
-memegang atau kaku.
8) Distres
gastric - bisa terjadi mual, dengan atau tanpa muntah; anorexia atau menolak
makan bisa terjadi.
9) Aktivitas
fisik dan reaksi-pasien mungkin sangat tenang, hanya bergerak saat disuruh atau
perlu; mungkin tidak pernah istirahat dan tidak dapat tidur.
10) Aktivitas
mental dan emosional- pasien mungkin menangis, bicara terlalu banyak atau
terlalu banyak meminta.
11) Observasi
mengenai asuhan keperawatan- apakah pasien puas dengan efek pengobatannya,
lebih tenang, dapat tidur atau istirahat (Vivian, 1974).
5. Strategi
penatalaksanaan nyeri
Strategi penatalaksanaan nyeri mencakup baik
pendekatan farmakologis dan non farmakologis. Pendekatan ini diseleksi
berdasarkan pada kebutuhan dan tujuan pasien secara individu. Semua intervensi
akan sangat berhasil bila dilakukan sebelum nyeri menjadi lebih parah, dan
keberhasilan terbesar sering dicapai jika beberapa intervensi diterapkan secara
simultan (Brunner dan Suddarth, 2002).
Tujuan utama dari suatu pengelolaan nyeri
pasca bedah adalah selain untuk memberi kenyamanan (tanpa nyeri = pain free)
terhadap penderita juga untuk mencegah terjadinya respon stress (stress free)
guna mencegah terjadinya komplikasi yang pada gilirannya dapat mempercepat
penyembuhan, memendekkan waktu hospitalisasi, dan menekan biaya (Kehelt H 1996
dalam Husni Tanra, 1997).
1) Intervensi
Farmakologis
Menangani
nyeri yang dialami pasien melalui intervensi farmakologis dilakukan dalam
kolaborasi dengan dokter atau pemberi utama lainnya dan pasien. Obat-obat
tertentu untuk penatalaksanaan nyeri mungkin diresepkan atau kateter epidural
mungkin dipasang untuk memberikan dosis awal (Brunner dan Suddarth, 2002).
Manajemen
pasca-operatif ditingkatkan dengan alat patient-controlled analgesic (PCA).
Meningkatnya penggunaan kateter epidural telah memperbaiki masalah pulmonal pasca-operatif
setelah pembedahan abdomen (Michael dan Seymour, 1997).
Meskipun
pengobatan untuk menyembuhkan nyeri adalah alat yang penting, tapi itu bukanlah
satu-satunya jalan untuk mengatasi nyeri. Perawat yang baik secara cermat akan
mengkaji pasien dan mencari penyebab masalahnya (Janice dan Elizabeth, 1985).
2)
Intervensi Non farmakologis
Pendekatan non farmakologi
dalam menangani nyeri dapat dibagi menjadi intervensi fisik dan intervensi
psikologis. Intervensi fisik mencakup beberapa atau semua hal dibawah ini:
posisi, massase, penggunaan kompres panas atau dingin, dan Transelectrical Nerve Stimulation (TENS). Intervensi psikologis
bisa mencakup teknik seperti distraksi, relaksasi, hipnotis, imajinasi
terbimbing, biofeedback, dan terapi musik (Julia dan Patricia, 1998).
Pemenuhan
Kebutuhan dasar Manusia Pasca Op. Caesar (ELIMINASI)
Menurut Abraham Maslow manusia memiliki
kebutuhan tertentu yang harus dipenuhi secara memuaskan melalui proses
homeostatis, baik fisiologis maupun psikologis. Adapun kebutuhan merupakan
suatu hal yang sangat penting dan bermanfaat atau diperlukan untuk menjaga
homeostatis dan kehidupan sendiri (Wahit, 2007).
Pada klien pasca operasi terkadang pemenuhan
kebutuhan dasar (kebutuhan fisiologisnya tidak bisa terpenuhi) seperti
pemenuhan kebutuhan buang air besar dan
buang air kecil, intensitas nyeri
yang berlebihan dan kecemasan. Untuk memenuhi hal tersebut, maka pasien pasca operasi seksio saesaria secepatnya melakukan
kegiatan mobilisasi.
1. Pemenuhan
Kebutuhan Eliminasi
a. Berkemih
(BAK)
Miksi adalah proses
pengosongan kandung kemih bila kandung kemih terisi. Proses ini terjadi dari
dua langkah utama yaitu :Kandung kemih secara progresif terisi sampai tegangan
di dindingnya meningkat diatas nilai ambang, yang kemudian mencetuskan langkah
kedua Timbul refleks saraf yang disebut refleks miksi (refleks berkemih) yang
berusaha mengosongkan kandung kemih atau jika ini gagal, setidak-tidaknya
menimbulkan kesadaran akan keinginan untuk berkemih. Meskipun refleks miksi
adalah refleks autonomik medula spinalis, refleks ini bisa juga dihambat atau
ditimbulkan oleh pusat korteks serebri atau batang otak.
Keinginan buang air kecil dapat dapat diketahui selama kandung kemih terisi, banyak yang
menyertai kontraksiberkemih mulai tampak, seperti diperlihatkan oleh gelombang
tajam dengan garis putus-putus. Keadaan ini disebabkan oleh refleks peregangan
yang dimulai oleh reseptor regang sensorik pada dinding kandung kemih,
khususnya oleh reseptor pada uretra pascaerior ketika daerah ini mulai terisi
urin pada tekanan kandung kemih yang lebih tinggi. Sinyal sensorik dari
reseptor regang kandung kemih dihantarkan ke segmen sakral medula spinalis
melalui nervus pelvikus dan kemudian secara refleks kembali lagi ke kandung
kemih melalui serat saraf parasimpatis melalui saraf yang sama ini.
Ketika kandung kemih
hanya terisi sebagian, kontraksi berkemih ini biasanya secara spontan
berelaksasi setelah beberapa detik, otot detrusor berhenti berkontraksi, dan
tekanan turun kembali ke garis basal. Karena kandung kemih terus terisi,
refleks berkemih menjadi bertambah sering dan menyebabkan kontraksi otot
detrusor lebih kuat. Sekali reflex berkemih mulai timbul, refleks ini akan “
menghilang sendiri. “ Artinya, kontraksi awal kandung kemih selanjutnya akan
mengaktifkan reseptor regang untuk menyebabkan peningkatan selanjutnya pada
impuls sensorik ke kandung kemih dan uretra pascaerior, yang menimbulkan
peningkatan refleks kontraksi kandung kemih lebih lanjut, jadi siklus ini
berulang dan berulang lagi sampai kandung kemih mencapai kontraksi yang kuat.
Kemudian, setelah
beberapa detik sampai lebih dari semenit, refleks yang menghilang sendiri ini
mulai melemah dan siklus regeneratif dari refleks miksi ini berhenti,
menyebabkan kandung kemih berelaksasi. Jadi refleks berkemih
adalah suatu siklus tunggal lengkap dari : Peningkatan tekanan yang cepat dan progresif Periode
tekanan dipertahankan dan kembalinya tekanan ke tonus basal kandung kemih.
Sekali refleks
berkemih terjadi tetapi tidak berhasil mengosongkan kandung kemih, elemen saraf
dari refleks ini biasanya tetap dalam keadaan terinhibisi selama beberapa menit
sampai satu jam atau lebih sebelum reflex berkemih lainnya terjadi. Karena
kandung kemih menjadi semakin terisi, refleks berkemih menjadi semakin sering
dan semakin kuat. Sekali refleks berkemih menjadi cukup kuat, hal ini juga
menimbulkan refleks lain, yang berjalan melalui nervus pudendal ke sfingter
eksternus untuk menghambatnya. Jika inhibisi ini lebih kuat dalam otak daripada
sinyal konstriktor volunter ke sfingter eksterna, berkemih pun akan terjadi.
Jika tidak, berkemih tidak akan terjadi sampai kandung kemih terisi lagi dan
refleks berkemih menjadi makin kuat.
b. Buang Air Besar (BAB)
Susunan feses terdiri
dari :
1) Bakteri
yang umumnya sudah mati
2) Lepasan
epitelium dari usus
3) Sejumlah
kecil zat nitrogen terutama musin (mucus)
4) Garam
terutama kalsium fosfat
5) Sedikit
zat besi dari selulosa
6) Sisa
zat makanan yang tidak dicerna dan air (100 ml)
Faktor-faktor yang mempengaruhi Eliminasi
fecal :
1)
Usia dan perkembangan : mempengaruhi karakter
feses, control
2)
Diet
3)
Pemasukan cairan. Normalnya : 2000 – 3000
ml/hari
4)
Aktifitas fisik : Merangsang peristaltik
usus, sehingga peristaltik usus meningkat.
5)
Faktor psikologik
6)
Kebiasaan
7)
Posisi
8)
Nyeri
9)
Kehamilan : menekan rectum
10) Operasi
& anestesi
11) Obat-obatan
12) Test
diagnostik : Barium enema dapat menyebabkan konstipasi
13) Kondisi
patologis
14) Iritan
Komentar
Posting Komentar