KONSEP NYERI DAN PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR MANUSIA PASCA TINDAKAN OPERASI (KEBUTUHAN ELIMINASI)

Disusun Oleh :
M. Rekar Sudirman

1.    Nyeri dan Konsep Dasar
a.    Pengertian
Setiap manusia dapat mengalami nyeri yang merupakan sensasi tidak enak. Nyeri merupakan tanda penting terhadap adanya gangguan fisiologis. Banyak pasien yang datang ke rumah sakit atau Puskesmas dengan keluhan nyeri yang biasa disertai dengan keluhan lainnya seperti rasa tertekan, panas atau dingin. Nyeri secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan maupun berat.
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. Nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan lebih banyak orang dibanding suatu penyakit manapun (Brunner dan Suddarth, 2002).
Nyeri dapat dibedakan menjadi nyeri akut dan nyeri kronik. Nyeri akut biasanya berlangsung secara singkat misalnya nyeri pada patah tulang atau nyeri pada pembedahan abdomen. Pasien yang mengalami nyeri akut biasanya menunjukkan gejala-gejala antara lain : respirasi meningkat, kecepatan jantung dan tekanan darah meningkat dan kalor. Respon seseorang terhadap nyeri bervariasi, ada yang sakit. Nyeri kronik berkembang lebih lambat dan terjadi dalam waktu lebih lama dan pasien sulit mengingat sejak kapan pasien mulai merasakan.
Nyeri juga dapat dinyatakan sebagai nyeri somatogenik atau psikogenik. Nyeri sometogenik merupakan nyeri secara fisik, sedangkan nyeri psikogenik merupakan nyeri psikis atau mental (Priharjo.R, 2002).
Definisi keperawatan tentang nyeri adalah, apapun yang menyakitkan tubuh yang dikatakan individu yang mengalaminya, yang ada kapanpun individu mengatakannya. Peraturan utama dalam merawat pasien dengan nyeri adalah bahwa semua nyeri adalah nyata. Definisi ini didasarkan pada dua pokok penting. Pertama, perawat percaya kepada pasien saat mereka menunjukkan bahwa mereka merasakan nyeri. Nyeri dianggap nyata meskipun tidak ada penyebab fisik atau sumber yang dapat diidentifikasi.
Meskipun beberapa sensasi nyeri dihubungkan dengan status mental atau status psikologis, pasien secara nyata merasakan sensasi nyeri dalam banyak hal dan tidak hanya membayangkannya saja. Kebanyakan sensasi nyeri adalah akibat dari stimulasi fisik dan mental atau stimuli emosional. Oleh karena itu, mengkaji nyeri individu mencakup pengumpulan informasi tentang penyebab fisik dari nyeri juga faktor mental atau emosional yang mempengaruhi persepsi individu tentang nyeri. Intervensi keperawatan diarahkan pada kedua komponen tersebut (Priharjo.R, 2002).
2.    Proses Terjadinya Nyeri
Nyeri diawali sebagai pesan yang diterima oleh saraf-saraf perifer. Zat kimia (substansi P, bradikinin, prostagandin) dilepaskan, kemudian menstimulasi saraf perifer, membantu mengantarkan pesan nyeri dari area yang terluka ke otak, dan menyusun tahap untuk penyembuhan (respon inflamasi). Sinyal nyeri dari area yang terluka berjalan sebagai impuls elektrokimia disepanjang nervus ke bagian dorsal spinal cord (area pada spinal yang menerima sinyal dari seluruh tubuh).
Pesan kemudian dihantarkan ke thalamus, pusat sensoris di otak dimana sensasi seperti panas, dingin, nyeri, dan sentuhan pertama kali dipersepsikan. Pesan lalu dihantarkan ke cortex, dimana intensitas dan lokasi nyeri dipersepsikan. Penyembuhan nyeri dimulai sebagai signal dari otak kemudian turun ke spinal cord. Di bagian dorsal, zat kimia seperti endorphin S dilepascan untuk mengurangi nyeri di area yang terluka (Carol dan Priscilla, 1997).
Dalam spinal cord, ada gerbang yang dapat terbuka atau tertutup. Saat gerbang terbuka, impuls nyeri lewat dan dikirim ke otak. Gerbang juga bisa ditutup. Stimulasi saraf sensoris dengan menggaruk secara perlahan di dekat area nyeri dapat menutup gerbang sehingga mencegah transmisi impuls nyeri. Impuls dari pusat juga dapat menutup gerbang, misalnya perasaan sembuh dapat mengurangi dampak atau beratnya nyeri yang dirasakan (Patricia dan Stanley, 1995).
Persepsi nyeri diikuti oleh reaksi terhadap nyeri. Beberapa orang dapat menerima nyeri dan menghadapinya dengan sabar; sedang yang lain bisa menjadi depresi dan menarik diri. Beberapa orang menjadi takut dan cemas, sedang yang lain toleransi dan optimis. Beberapa orang menangis, meraung, berteriak, minta pertolongan, mengancam untuk melukai diri sendiri, memukul bantal. atau ke sana kemari tanpa tujuan saat mereka merasakan nyeri hebat. Sedang yang lain berbaring tenang di tempat tidur dan menutup mata, merapatkan giginya, menggigitbibirnya, menggenggam tangannya, atau berkeringat saat merasakan nyeri (Kathleen, et al, 1975).
Nyeri mempunyai fungsi protektif. Anak-anak belajar untuk tidak mengulangi perilaku tertentu yang akan menyebabkan mereka terluka dan mengalami nyeri lagi; misalnya menyentuh benda yang panas atau tajam. Nyeri hebat pada salah satu bagian tubuh bisa menyebabkan penderitanya mencari bantuan kesehatan untuk mengatasi penyebabnya. Profesi kesehatan menggunakan timbulnya nyeri akut sebagai alat diagnostik, asal dan lokasinya pada beberapa kasus menunjukkan kondisi khusus. Perubahan derajat nyeri bisa menjadi indikasi meningkat atau menurunnya penyebab nyeri. Keterampilan perawat dalam mengobservasi bisa membantu diagnosis yang akurat dan membantu manajemen yang efektif (Patricia dan Stanley, 1995).
Nyeri mempengaruhi setiap klien dengan cara yang unik, dan perawat harus menentukan lokasi, intensitas, dan tipe nyeri, perubahan tanda-tanda vital, dan data subjektif dan objektif dari persepsi klien terhadap nyeri, sebaik efek pengobatan, posisi dan latihan. Nyeri insisi harus dibedakan dari nyeri yang lain. Nyeri insisi cenderung meningkat selama 48 jam setelah pembedahan dan secara bertahap menurun (Diane dan Lillian, 1982)
3.    Patofisiologi Nyeri
Menurut Husni Tanra (1997) penelitian laboratorium menunjukkan bahwa menyusul suatu trauma atau operasi maka input nyeri dari perifer ke sentral akan mengubah ambang reseptor nyeri baik di perifer maupun di sentral (kornu pascaerior medulla spinalis). Kedua reseptor nyeri tersebut di atas akan menurun ambang nyeri-nya, sesaat setelah terjadi input nyeri.
Perubahan ini akan menghasilkan suatu keadaan yang disebut sebagai hipersensitifitas baik perifer maupun sentral. Perubahan ini dalam klinik dapat dilihat, dimana daerah perlukaan dan sekitarnya akan berubah menjadi hiperalgesia. Daerah tepat pada perlukaan akan berubah menjadi allodini, artinya dengan stimuli lemah, yang normal tidak menimbulkan rasa nyeri, kini dapat menimbulkan nyeri, daerah ini disebut juga sebagai hiperalgesia primer. Di lain pihak daerah sekitar perlukaan yang masih nampak normal juga berubah menjadi hiperalgesia, artinya dengan suatu stimuli yang kuat, untuk cukup menimbulkan rasa nyeri, kini dirasakan sebagai nyeri yang lebih hebat dan berlangsung lebih lama, daerah ini juga disebut sebagai hiperalgesia sekunder.
Menurut Tanra (1997) kedua perubahan tersebut di atas, baik hiperalgesia primer maupun hiperalgesia sekunder merupakan konsekuensi terjadinya hipersensitifltas perifer dan sentral menyusul suatu input nyeri akibat suatu trauma atau operasi. Ini berarti bahwa susunan saraf kita, baik susunan saraf perifer maupun susunan saraf sentral dapat berubah sifatnya menyusui suatu input nyeri yang kontinyu.
a)    Respon lokal
Akibat terjadinya kerusakan sel dalam jaringan. maka akan terlepas substansi nyeri. Substansi nyeri ini berasal dari 3 tempat yakni, yang pertama dari kerusakan sel itu sendiri yang akan melepas Histamin, Kalium, Asetilkolin, Serotonin, dan ATP. Selain itu, terjadi sintesa Prostaglandin dari metabolisme asam arakhidonat dengan bantuan siklooksigenase.
Yang kedua, substansi nyeri berupa Bradikinin dilepascan dari plasma darah melalui pembuluh darah yang berubah permeabilitasnya. Yang ketiga, substansi nyeri yang dilepascan dari ujung-ujung saraf sendiri yang disebut substan P.
Akibat dari terlepasnya substansi nyeri tersebut diatas menyebabkan perubahan-perubahan lokal yang oleh Celsus, seorang dokter jaman Romawi, menyebutnya sebagai tanda-tanda inflamasi berupa kemerahan (rubor), hangat (calor), pembengkakan (tumor), nyeri (dolor), dan gangguan fungsi (functio laesa). Dalam klinik, perubahan itu tampak sebagai gejala hiperalgesia atau allodini (Handerwerker dan Wolt dalam Husni Tanra tahun1997).
Gejala hiperalgesia dan allodini ini menjadi penting dalam klinik, sebab sekali terjadi hal ini dibutuhkan dosis obat analgesik yang lebih tinggi untuk menghilangkannya.
b)    Respon segmental
Impuls nyeri perifer yang dibawa oleh serabut saraf A delta dan serabut C selain akan mengaktifkan kornu pascaerior medulla spinalis, juga mengaktifkan kornu anterior dan lateralis dari medulla spinalis yang pada gilirannya akan memberikan respon berupa spasme otot, spasme pembuluh darah, dan menekan akti vitas saluran cerna (usus). Spasme otot yang terjadi pada gilirannya menjadi sumber stimuli yang baru sehingga meningkatkan rasa nyeri dan mengakibatkan terjadinya spasme otot yang lebih hebat lagi, jadi merupakan siklus visiousus.
Demikian pula halnya dengan terjadinya spasme pembuluh darah yang menyebabkan iskemia dan hipoksia setempat, yang menimbulkan asidosis. Asidosis pada gilirannya menurunkan ambang nyeri sehingga rasa nyeri makin meningkat dan seterusnya. Selain itu, akibat input nyeri dari kulit, akan merangsang timbulnya refleks kutaneoviseral yang menyebabkan menurunnya aktivitas (peristaltik) usus, yang mengandung terjadinya ileus pasca bedah. Oleh karena itu tanpa pengelolaan nyeri pasca bedah, penderita cenderung mengalami ileus paralitikus hebat dari tertekannya aktivitas usus, sehingga puasa pasca bedah lebih lama dan proses penyembuhan memanjang (Bonica.JJ dalam Husni Tanra,1997).
c)    Respon suprasegmental
Menurut Husni Tanra (1997) respon suprasegmental ini bersumber dari stimulasi dan pusat saraf di hipothalamus yang pada gilirannya menimbulkan hiperventilasi atau takipnu dan meningkatkan aktifitas saraf simpatis yang pada gilirannya akan meningkatkan denyut jantung, isi sekuncup jantung, dan curah jantung semenit. Selain itu meningkatnya aktivitas simpatis menyebabkan vasokonstriksi dan pelepasan hormon steroid dari glandula suprarenal yang pada gilirannya menimbulkan gejala hipertensi.Pada dasarnya akibat meningkatnya aktivitas Mpothalamus menimbulkan terlepasnya berbagai macam hormon yang disebut sebagai hormon stres yang merugikan penderita.
d)    Respon kortikal
Respon kortikal merupakan respon psikodinamik seseorang terhadap suatu pembedahan. Hal ini akan menyebabkan terjadinya mekanisme psikodinamik yang akan menghasilkan perasaan cemas, takut, dan gelisah. Hal ini akan mengundang umpan balik yang pada gilirannya menurunkan ambang nyeri penderita, sehingga penderita akan merasa lebih nyeri lagi (Bonica JJ dalam Husni Tanra, tahun 1997)
Dari keempat respon tubuh diatas dapat disimpulkan bahwa respons tubuh terhadap suatu pembedahan atau nyeri yang akan menghasilkan reaksi endokrin, dan imunologik, yang secara umum disebut sebagai respon stres. Respon stres ini sangat merugikan penderita karena selain akan menurunkan cadangan dan daya tahan tubuh, meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung, mengganggu fungsi respirasi dengan segala konsekuensinya, juga akan mengundang resiko terjadinya tromboemboli yang pada gilirannya meningkatkan morbiditas dan mortalitas pascabedah (Kehelt 1998 dalam Husni Tanra, 1997).
4.    Mengkaji Persepsi Nyeri
a.    Intensitas Nyeri dapat diukur dengan menggunakan skala VAS (Visual Analog Scale)
Skala VAS (Visual Analog Scale) adalah suatu skala garis yang panjangnya 10 cm dengan skala 0 – 10 cm. Semakin mendekati angka 0, semakin tidak nyeri dan sebaliknya, semakin mendekati angka 10 maka akan semakin nyeri. Individu diminta untuk membuat tingkatan nyeri pada skala verbal (misalnya nyeri ringan, nyeri sedang dan nyeri berat).
Skala Intensitas Nyeri
 
 



                  0        1          2          3           4          5          6           7       8         910
Keterangan:
Nyeri ringan    : Bila skala intensitas nyeri numerik 1 – 4
Nyeri sedang  : Bila skala intensitas nyeri numerik 5 – 7
Nyeri hebat     : Bila skala intensitas nyeri numerik 8 – 10
b.    Karakteristik Nyeri
Menurut Brunner dan Suddarth tahun 2002, alat-alat pengkajian nyeri dapat digunakan untuk mengkaji persepsi nyeri seseorang. Agar alat-alat pengkajian nyeri dapat bermanfaat, alat tersebut harus memenuhi kriteria berikut : (1) mudah dimengerti dan digunakan, (2) memerlukan sedikit upaya pada pihak pasien, (3) mudah dinilai, dan (4) sensitif terhadap perubahan kecil dalam intensitas nyeri. Alat-alat pengkajian nyeri dapat digunakan untuk mendokumentasikan kebutuhan intervensi, untuk mengevaluasi efektivitas intervensi dan untuk mengidentifikasi kebutuhan akan intervensi alternatif dan tambahan jika intervensi sebelumnya tidak efektif dalam meredakan nyeri individu.
Nyeri sukar digambarkan; saat pasien mengeluh nyeri, dengarkan (lakukan sesuatu) karena nyerinya adalah apa yang ia rasakan meskipun ia mungkin kesulitan menggambarkannya. Observasi objektif yang bisa ditemui yakni (Brunner dan Suddarth, 2002) :
1)     Kulit- menjadi pucat, dingin dan lembab saat nyeri hebat dan lama.
2)     Ekspresi wajah- kening mengernyit, mulut dan gigi terkatup rapat; pasien mungkin meringis.
3)     Mata- tertutup rapat atau terbuka; pupil mungkin diatasi.
4)     Nadi-nadi mungkin meningkat atau menurun dengan beragam intensitas.
5)     Respirasi - frekuensinya meningkat dan berubah karakternya.
6)     Tekanan darah- bisa berubah jika terjadi nyeri.
7)     Muskuloskeletal -memegang atau kaku.
8)     Distres gastric - bisa terjadi mual, dengan atau tanpa muntah; anorexia atau menolak makan bisa terjadi.
9)     Aktivitas fisik dan reaksi-pasien mungkin sangat tenang, hanya bergerak saat disuruh atau perlu; mungkin tidak pernah istirahat dan tidak dapat tidur.
10)  Aktivitas mental dan emosional- pasien mungkin menangis, bicara terlalu banyak atau terlalu banyak meminta.
11)  Observasi mengenai asuhan keperawatan- apakah pasien puas dengan efek pengobatannya, lebih tenang, dapat tidur atau istirahat (Vivian, 1974).
5.    Strategi penatalaksanaan nyeri
Strategi penatalaksanaan nyeri mencakup baik pendekatan farmakologis dan non farmakologis. Pendekatan ini diseleksi berdasarkan pada kebutuhan dan tujuan pasien secara individu. Semua intervensi akan sangat berhasil bila dilakukan sebelum nyeri menjadi lebih parah, dan keberhasilan terbesar sering dicapai jika beberapa intervensi diterapkan secara simultan (Brunner dan Suddarth, 2002).
Tujuan utama dari suatu pengelolaan nyeri pasca bedah adalah selain untuk memberi kenyamanan (tanpa nyeri = pain free) terhadap penderita juga untuk mencegah terjadinya respon stress (stress free) guna mencegah terjadinya komplikasi yang pada gilirannya dapat mempercepat penyembuhan, memendekkan waktu hospitalisasi, dan menekan biaya (Kehelt H 1996 dalam Husni Tanra, 1997).
1)    Intervensi Farmakologis
Menangani nyeri yang dialami pasien melalui intervensi farmakologis dilakukan dalam kolaborasi dengan dokter atau pemberi utama lainnya dan pasien. Obat-obat tertentu untuk penatalaksanaan nyeri mungkin diresepkan atau kateter epidural mungkin dipasang untuk memberikan dosis awal (Brunner dan Suddarth, 2002).
Manajemen pasca-operatif ditingkatkan dengan alat patient-controlled analgesic (PCA). Meningkatnya penggunaan kateter epidural telah memperbaiki masalah pulmonal pasca-operatif setelah pembedahan abdomen (Michael dan Seymour, 1997).
Meskipun pengobatan untuk menyembuhkan nyeri adalah alat yang penting, tapi itu bukanlah satu-satunya jalan untuk mengatasi nyeri. Perawat yang baik secara cermat akan mengkaji pasien dan mencari penyebab masalahnya (Janice dan Elizabeth, 1985).
2) Intervensi Non farmakologis
Pendekatan non farmakologi dalam menangani nyeri dapat dibagi menjadi intervensi fisik dan intervensi psikologis. Intervensi fisik mencakup beberapa atau semua hal dibawah ini: posisi, massase, penggunaan kompres panas atau dingin, dan Transelectrical Nerve Stimulation (TENS). Intervensi psikologis bisa mencakup teknik seperti distraksi, relaksasi, hipnotis, imajinasi terbimbing, biofeedback, dan terapi musik (Julia dan Patricia, 1998).

Pemenuhan Kebutuhan dasar Manusia Pasca Op. Caesar (ELIMINASI)
Menurut Abraham Maslow manusia memiliki kebutuhan tertentu yang harus dipenuhi secara memuaskan melalui proses homeostatis, baik fisiologis maupun psikologis. Adapun kebutuhan merupakan suatu hal yang sangat penting dan bermanfaat atau diperlukan untuk menjaga homeostatis dan kehidupan sendiri (Wahit, 2007).
Pada klien pasca operasi terkadang pemenuhan kebutuhan dasar (kebutuhan fisiologisnya tidak bisa terpenuhi) seperti pemenuhan kebutuhan buang air besar dan buang air kecil, intensitas nyeri yang berlebihan dan kecemasan. Untuk memenuhi hal tersebut, maka pasien pasca operasi seksio saesaria secepatnya melakukan kegiatan mobilisasi.
1.    Pemenuhan Kebutuhan Eliminasi
a.    Berkemih (BAK)
Miksi adalah proses pengosongan kandung kemih bila kandung kemih terisi. Proses ini terjadi dari dua langkah utama yaitu :Kandung kemih secara progresif terisi sampai tegangan di dindingnya meningkat diatas nilai ambang, yang kemudian mencetuskan langkah kedua Timbul refleks saraf yang disebut refleks miksi (refleks berkemih) yang berusaha mengosongkan kandung kemih atau jika ini gagal, setidak-tidaknya menimbulkan kesadaran akan keinginan untuk berkemih. Meskipun refleks miksi adalah refleks autonomik medula spinalis, refleks ini bisa juga dihambat atau ditimbulkan oleh pusat korteks serebri atau batang otak.
Keinginan buang air kecil dapat dapat diketahui selama kandung kemih terisi, banyak yang menyertai kontraksiberkemih mulai tampak, seperti diperlihatkan oleh gelombang tajam dengan garis putus-putus. Keadaan ini disebabkan oleh refleks peregangan yang dimulai oleh reseptor regang sensorik pada dinding kandung kemih, khususnya oleh reseptor pada uretra pascaerior ketika daerah ini mulai terisi urin pada tekanan kandung kemih yang lebih tinggi. Sinyal sensorik dari reseptor regang kandung kemih dihantarkan ke segmen sakral medula spinalis melalui nervus pelvikus dan kemudian secara refleks kembali lagi ke kandung kemih melalui serat saraf parasimpatis melalui saraf yang sama ini.
Ketika kandung kemih hanya terisi sebagian, kontraksi berkemih ini biasanya secara spontan berelaksasi setelah beberapa detik, otot detrusor berhenti berkontraksi, dan tekanan turun kembali ke garis basal. Karena kandung kemih terus terisi, refleks berkemih menjadi bertambah sering dan menyebabkan kontraksi otot detrusor lebih kuat. Sekali reflex berkemih mulai timbul, refleks ini akan “ menghilang sendiri. “ Artinya, kontraksi awal kandung kemih selanjutnya akan mengaktifkan reseptor regang untuk menyebabkan peningkatan selanjutnya pada impuls sensorik ke kandung kemih dan uretra pascaerior, yang menimbulkan peningkatan refleks kontraksi kandung kemih lebih lanjut, jadi siklus ini berulang dan berulang lagi sampai kandung kemih mencapai kontraksi yang kuat.
Kemudian, setelah beberapa detik sampai lebih dari semenit, refleks yang menghilang sendiri ini mulai melemah dan siklus regeneratif dari refleks miksi ini berhenti, menyebabkan kandung kemih berelaksasi. Jadi refleks berkemih adalah suatu siklus tunggal lengkap dari : Peningkatan tekanan yang cepat dan progresif Periode tekanan dipertahankan dan kembalinya tekanan ke tonus basal kandung kemih.
Sekali refleks berkemih terjadi tetapi tidak berhasil mengosongkan kandung kemih, elemen saraf dari refleks ini biasanya tetap dalam keadaan terinhibisi selama beberapa menit sampai satu jam atau lebih sebelum reflex berkemih lainnya terjadi. Karena kandung kemih menjadi semakin terisi, refleks berkemih menjadi semakin sering dan semakin kuat. Sekali refleks berkemih menjadi cukup kuat, hal ini juga menimbulkan refleks lain, yang berjalan melalui nervus pudendal ke sfingter eksternus untuk menghambatnya. Jika inhibisi ini lebih kuat dalam otak daripada sinyal konstriktor volunter ke sfingter eksterna, berkemih pun akan terjadi. Jika tidak, berkemih tidak akan terjadi sampai kandung kemih terisi lagi dan refleks berkemih menjadi makin kuat.
b.  Buang Air Besar (BAB)
Susunan feses terdiri dari :
1)     Bakteri yang umumnya sudah mati
2)     Lepasan epitelium dari usus
3)     Sejumlah kecil zat nitrogen terutama musin (mucus)
4)     Garam terutama kalsium fosfat
5)     Sedikit zat besi dari selulosa
6)     Sisa zat makanan yang tidak dicerna dan air (100 ml)
Faktor-faktor yang mempengaruhi Eliminasi fecal :
1)    Usia dan perkembangan : mempengaruhi karakter feses, control
2)    Diet
3)    Pemasukan cairan. Normalnya : 2000 – 3000 ml/hari
4)    Aktifitas fisik : Merangsang peristaltik usus, sehingga peristaltik usus meningkat.
5)    Faktor psikologik
6)    Kebiasaan
7)    Posisi
8)    Nyeri
9)    Kehamilan : menekan rectum
10) Operasi & anestesi
11) Obat-obatan
12) Test diagnostik : Barium enema dapat menyebabkan konstipasi
13) Kondisi patologis

14) Iritan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Audit, Sertifikasi, dan Akreditas apa Bedanya?

Mengenal Tentang MUN "Model United Nations"

MENTAL BLOCK